Out Bond PKPBA

Tak sepeti hari-hari sebelumnya, pagi ini aku terbangun lebih awal untuk melaksanakan shalat shalat subuh yang terkadang terlambat dan telat. Padahal semalam aku tidur pukul setengah dua. Lewat tengah malam yang dingin. Alasan mengapa aku lebih awal bangun, mungkin karena hari ini adalah hari yang akan dipenuhi dengan kenangan di tengah-tengah kegembiraan kawan-kawanku. Ya, benar, hari ini, aku bersama teman-teman kelas PKPBA (Program Khusus Pengembangan Bahasa Arab) A.2 akan mengikuti acara out bond di Lembah Dieng. Tempat yang katanya indah nan asri karna suasana alamnya yang alami.


Pukul setengah tujuh aku baru sampai di gedung B untuk persiapan berangkat menuju lokasi wisata yang rencananya akan berangkat dengan mengendarai truck. Tawa, canda, senang, gembira dan bahagia menjadi satu saat berkumpul dengan teman-temanku. Seperti halnya gado-gado yang isinya terdiri dari berbagai jenis bahan makanan, tapi tetap dikatakan ‘gado-gado’. Teman-teman kelasku berseragam kaos warna hitam. Untuk yang cewek, mereka berkrudung berwarna merah mudah (pink). Mereka terlihat seperti suporter yang siap mendukung dan membela tim kesayangannya. Tapi, kali ini, mereka tidak mendukung siapa-siapa. Teman-teman kelasku, selain menjadi pendukung, mereka juga menjadi pemain. Sangatlah pas sekali slogan: “Dari teman-teman, oleh teman-teman, untuk teman-teman” jika disematkan pada ‘genk’ A.2 kali ini.
Usai mengambil foto bersama dengan teman-teman sekelas di gedung B, aku, bersama teman-teman yang lain pindah ke depan gedung Sport Center untuk menanti giliran naik truck. Riang gembira masih nampak di raut wajah teman-teman, toh, sebenarnya masih saja ada yang terlihat lemas dan layuh karna sakit. Namun tetap saja ikut karna semangat untuk menjalin kekompakan lebih diprioritaskan.
Sekitar jam setengah delapan, truck yang ditumpangi oleh teman-teman kelasku dan juga teman-teman PKPBA lainnya, berangkat dari UIN menuju Lembah Dieng. Aku mengendarai sepeda motor bersama temanku yang agak ‘konyol’; Fikri. Dalam perjalanan, aku membayangkan Lembah Dieng yang tak pernah kukunjungi sama sekali sebelumnya. Ini adalah pertama kalinya aku rekreasi ke tempat wisata alam itu. Khayalan dan bayangan tergambar dalam benak pikiran. Sebuah tempat luas dan indah yang sepertinya pas buat refreshing. Beda halnya dengan Fikri yang dulunya pernah rekreasi ke tempat tersebut.
Lima belas menit perjalanan, akhirnya rombongan peserta out bond angkatan 2010 sampai di lokasi tujuan. Sepi, seperti hutan belantara. Udaranya sejuk. Pemandangan dedaunan hijau dari pohon-pohon besar mengingatkanku pada sebuah tempat wisata alam di Purwosari; Kebun Raya. Tapi di Lembah Dieng ini, terdapat ciri khas tersendiri dari pada tempat-tempat wisata lainnya. Yaitu kolam pemancingan yang luas dan berisikan ikan-ikan jumbo. Tak mengherankan jika pemandangan yang banyak ditemui di Lembah Dieng adalah orang-orang yang sedang memancing di pinggiran kolam besar.
Sebelum memasuki lokasi, teman-teman kelasku masih menyempatkan diri untuk mengambil foto bersama. Usai mengambil foto dan sebelum memasuki gerbang, aku bersama teman-temanku melingkar jadi satu sambil meletakkan tangan kanan di tengah-tengah kerumunan. Lalu, aku memberi aba-aba yel-yel khusus yang telah disepakati bersama. Aku berteriak: “A dua!!!”. “Na na na na na na. Mum, mum, mumtaazZZ!!!” teriak teman-teman diiringi senyum lebar penuh kebahagiaan.
Saat memasuki gerbang, mata melihat sebuah kolam besar yang airnya berwarna hijau. Pertanda bahwa kolam itu tak pernah dikuras. “Siapa juga yang bersedia menguras kolam sebesar itu?”, tanyaku dalam hati. Andai saja ada pengumaman pengurasan kolam, maka, orang sekitar Lembah Dieng akan berbondong-bondong mendatangi kolam hijau itu dengan tujuan untuk menguras habis ikan-ikan yang ada di kolamnya, bukan bertujuan membersihkan kolam dari kotoran-kotoran sampah atau dari lumut-lumut yang menempel di dinding kolam. Tapi kalau dilihat dari permukaan airnya, kolam itu terawat dan terjaga dari kebersihan sampah. Aku melihat hanya ada beberapa daun saja yang tampak dipermukaan air kolam.
Dipinggir-pinggir kolam aku menjumpai orang-orang yang asyik memancing. Salah seorang temanku bilang bahwa pada hari Sabtu dan Ahad banyak para pemancing yang datang. Lebih-lebih di hari Ahadnya. Untuk hari Sabtu sendiri, kebanyakan para pemancingnya adalah orang-orang kantoran. Sebab, orang-orang kantor liburnya dimulai dari hari Sabtu. Sedangkan untuk hari Ahadnya dipenuhi oleh orang-orang yang memang hobi memancing ikan. Baik itu orang kantoran, kaula muda maupun pemancing sejati. “Pemancing sejati akan merasakan nikmatnya memancing melebihi nikmatnya seks. Seperti halnya pemain sepak bola pula yang hanya akan nikmat dengan tendangan-tendangannya”, tutur salah seorang teman saat berada di lokasi pemancingan.

Arena Perlombaan

Sungguh elok pemandangan yang dilihat oleh bola mataku di pagi itu. Aku melihat langsung bangunan melingkar yang berupa tangga-tangga besar seperti tempat duduk penonton di stadion sepak bola Kanjuruhan. Di tengah-tengah lingkaran besar itu terdapat sebuah panggung yang terbuat dari cor-coran. Panggung itu tingginya kira-kira sekitar satu meter. Sepertinya tempat itu memang dikhususkan untuk acara-acara besar seperti yang dilakukan oleh PKPBA kali ini; Out Bond. Saat aku masih berdiri di tempat duduk teratas, aku teringat film India ‘3 Idiot’. Dalam film itu, ditampilkan sebuah bangunan bertangga besar untuk para peserta lomba melukis bebas yang terdiri dari ribuan murid-murid sekolah. Beda halnya di Lembah Dieng kali ini yang hanya terdapat sekitar lima ratusan mahasiswa.
Sorak-sorai suara terdengar menghibur saat nama-nama kelas disebutkan satu persatu oleh panitia. “A dua!!”, teriak panitia yang ingin mengetahui kekompakannya. “Woy!! Ye!! Hore!!”, suara sahutan terdengar keras dan kompak dari tempat kelasku berkumpul. Begitu pula dengan kelas-kelas lainnya yang tak kalah menarik dan seru. Arena tersebut memang sangat pas dan cocok untuk bersaing antara satu dengan yang lainnya.
Awan mendung di hari itu, seolah telah merestui kehadiran mahasiswa PKPBA di Lembah Dieng. Sesekali rintikan hujan menyentuh kulitku dan teman-teman lainnya di tengah-tengah kegembiraan yang hanya sekali ini saja kurasakan. Meskipun mendung memayungi Lembah Dieng, tetap saja aku dan teman-teman kelasku, serta peserta lainnya yang memakai kaos hitam, merasakan panas. Terasa seperti di open dalam sebuah ruangan sempit dengan suhu 29 derajat.
Aku dan teman-teman kelasku mamakai kaos hitam. Pemilihan warna itu diupayakan agar berseragam dan terlihat kompak. Titik. Tak ada alasan lain selain demi keseragaman dan kekompakan. Selain kelasku; A.2, ada lagi kelas lain yang juga memakai kaos warna hitam. Yaitu kelas B.2. Tapi, mereka terlihat lebih kompak dari pada kelasku. Pasalnya, mereka memakai kaos warna hitam yang seragam dengan lambang kebesaran “B 2” yang terlihat jelas di punggung mereka. Font yang digunakan dalam tulisan ‘B.2’ itu seperti angka tulisan dalam kalkulator. Di kelas B.2 –yang diantara warganya ada yang kukenali—memberiku info bahwa kaos kelasnya itu terbuat dari kain katun. Kain –meskipun berwarna hitam—yang takkan terasa panas meskipun dipakai siang hari. Kaos yang dipakai B.2 tersebut merupakan seragam kelasnya yang dipesan di tempat pembuatan pakaian di Dinoyo, ke arah utara adari UIN. Harga kaos pesanan itu 25 ribu rupiah.
Di kelas-kelas yang lain, ada yang memakai seragam yang berwarna biru, baik biru tua dan biru muda, tapi yang mendominasi adalah warna biru tua. Ada yang berwarna abu-abu. Ada yang berwarna putih dengan lengan berwarna hitam. Ada yang berwarna merah hati. Kalau tak salah, kelas C.5 yang memakai seragam merah hati itu. Ada yang memakai seragam jaket berwarna cokelat. Teman kamarku yang duduk di kelas A.5 memakai seragam jaket berwarna hitam dengan berlambangkan tulisan ‘A LIMA’ yang dibentuk seperti tulisan China. Tulisan itu terletak di dada sebelat kanan. Ada pula yang meminjam seragam berwarna ungu. Pokok kalau gak ada berseragam gak seru.
Semua peserta sepertinya telah membuat kesepakatan dan kekompakan demi harga diri kelas masing-masing. Toh meskipun harus meminjam seragam dari komunitas lain, yang penting saat out bond terlihat kompak. Semua itu dilakukan hanyalah demi harga diri kelas masing-masing dalam waktu sehari itu saja. Demi kemenangan yang akan membawa nama baik kelas hingga kahirnya akan dikagumi kelas yang lain. Dan demi penampilan terbaik di arena yang bergengsi dan spektakuler dengan ratusan pasang mata peserta.

Lomba Yel-yel dan Nasyid

Usai acara pembukaan yang disambut oleh ketua panitia, tibalah waktunya untuk adu mental. Panitia memberikan waktu maksimal tujuh menit untuk menampilkan lomba yel-yel dan nasyid dari masing-masing kelas di atas pentas. Terserah, mau mendahulukan yel-yel kemudian nasyid atau mengawali nasyid yang dilanjutkan dengan yel-yel, yang penting dalam waktu yang hanya dibatasi sampai tujuh menit itu penampilan dari peserta harus rampung. Jika lebih dari waktu yang tersedia, maka akan berakibat pada pengurangan nilai.
Tapi, bagi yang sudah berkomitmen untuk bersenang-senang, waktu yang disediakan oleh panitia takkan dihiraukan. “Yang penting happy”, seperti itulah kira-kira slogannya. Tak mengherankan jika salah satu kelas ada yang bikin heboh penontonnya hingga menyeret untuk bergoyang dangdut di depan panggung. Musik dangdut koplo yang ditampilkan salah satu kelas dengan lagu ‘Wali Band’ yang berjudul ‘Aku Bukan Bang Toyyib’ seolah menyihir penonton lainnya. Arena itu seolah menjadi tempat orkes seperti ketika Inul Daratista atau Uut Permatasari ataupun Dewi Persik tampil di tengah lapangan sepak bola dengan goyangan mautnya.
Pada dua lomba ini, kelasku berada diurutan ke tujuh. Untuk yel-yel, seluruh teman kelas sengaja melibatkan semuanya agar terlihat kompak. Sedangkan untuk nasyid sendiri, hanya melibatkan beberapa orang saja. Bahkan, mulanya hanya akan menampilkan empat orang dari jumlah 37 teman kelas. Dari keempat itupun yang membawakan lagu hanya dua orang. Yaitu Hasan dan Qomariyah dengan sebuah lagu ‘Ketika Cinta Bertasbih’ yang sudah ditranslit ke dalam bahasa Arab. Sedangkan yang dua lainnya; Thufail dan Fikri sebagai pengisi alat music; Thufeil yang fokus pada insrtumen guitar dan Fikri yang menabuh gendang. Tapi akhirnya konsep penampilan nasyid dirubah dengan tampilan baru yang menambah empat orang lagi untuk bisa tampil di atas panggung, termasuk aku diantaranya.
Pingsan; Bikin klip banyol untuk 'Nasyid KCB'
Pada kesempatan out bond kali ini, aku seolah menjadi orang yang tak waras. “Gila-gilaan wes intinya”, batinku menimpali. Tanpa rasa malu, aku berpura-pura jadi orang buta di depan ratusan pasang mata dengan menggunakan kacamata yang mengkilap. Sambil memegang bambu yang kujadikan sebagai tongkat di tangan kananku, aku berjalan diantar oleh salah seorang teman. Persis seperti orang buta yang diantar untuk menyebrangi jalan. Kemudian, aku dihadapkan ke depan sosok wanita. Saat itu pula kacamataku dilepas. Aku berakting untuk menjadi orang yang kagum pada wanita yang sedang berdiri di depanku. Akupun berakting pingsan. Lalu berdiri lagi untuk merayu wanita tersebut yang tak lain adalah temanku yang bernama Kurnia.
Di sisi lain, Fikri berusaha merayu Belda saat berakting di atas panggung. Gayanya yang bikin sakit perut penonton, juga membuatku tak kuat menahan tawa di atas panggung itu. Tapi aku tetap berusaha menahan agar tak tertawa di hadapan penonton. Padahal, sebelum naik panggung, aku, Kurnia, Fikri dan Belda tidak melakukan persiapan apapun untuk mengcover clip di atas panggung yang dipayungi terop berwarna merah hati itu. Aku bersama ketiga temanku itu hanya sekedar mengkonsep saja. Dan hasilnya, ya, seperti apa yang dilihat oleh penonton. “Kamu pandai berakting kawan”, seorang Fathan dari kelas A.1 memujiku dengan bahasa Madura sesaat setelah turun dari panggung.
Usai mengikuti lomba yel-yel dan nasyid, aku dan teman-temanku merasa bebas dan puas. Meskipun sudah dapat diprediksi kekalahannya, tapi rasanya lega sekali bisa tampil di atas pentas dengan yel-yel yang menjadikan kekompakan dan kebersamaan lebih terjalin. Benar saja, acara out bond kali ini –selain bertujuan untuk refreshing—adalah untuk mengakrabkan satu angkatan PKPBA tahun ini. Lebih-lebih untuk teman kelas yang berbeda jurusan. Seolah masih ada sekat tipis untuk bergaul. Rasa canggung terasa sekali di ruang-ruang kelas PKPBA, toh perjalanan kuliah telah melewati satu smester. Tapi, usai acara out bond ini, kemungkinan besar, keakraban dalam kelas lebih terjamin dari pada sebelum out bond.

Drama yang Singkat

Sebelum memasuki waktu dimulainya perlombaan drama dari kelompok satu, aku dan Adam keluar dari lokasi untuk mengambil nasi di belakang UIN. Aku harus kembali lagi ke kampus. Untung saja jarak antara kampus hijau UIN dengan Lembah Dieng tak begitu jauh. Perjalanan dapat ditempuh lima belas menit dengan mengendarai truck. Tapi, berhubung aku membawa sepeda motor pribadi, perjalanan bisa dipersingkat menjadi sepuluh menit, bahkan bisa lebih singkat dari itu. Tapi, ya, tergantung jalanan yang akan dilalui. Jika macet, secara tak langsung akan memperlambat perjalanan. Dalam faktanya, jalanan dari Lembah Dieng menuju UIN sempit. Jadinya, aku harus memperlambat asal selamat. Seperti ungkapan dalam pepatah bahasa Jawa: “Alon-alon seng penting kelakon”
Setelah kuambil nasi dari UIN yang berjumlah dua puluh bungkus, aku bersama teman kelas makan bersama. Teman-temanku terlihat sangat kelaparan. Maklum, dari pagi memang tak sarapan nasi kecuali memakan donat dan lumpiah yang disediakan oleh panitia PKPBA. Benar-benar kelaparan. Nasi bungkusan berporsi jumbo ukuran orang bekerja di sawah ataupun di ladang habis dalam sekejab. Aku juga tak luput untuk melahap dengan cepat agar tak ketinggalan untuk menikmati beraneka macam lauk yang bercampur jadi satu. Aku teringat pepatah Jawa “Mangan gak mangan seng penting kumpul” tapi di zaman globalisasi kali ini, pepatah itu seolah terbalik dari esensinya, kemudian diplesetkan menjadi: “Kumpul gak kumpul yang penting mangan”.
Ba’da makan kubro, tak sabar rasanya menanti giliran tampil drama yang paling bergengsi itu. Untu lomba drama kali ini, kelasku mendapat urutan kesepuluh. Awalnya mendapat urutan yang kedelapan, namun, karna diacak lagi oleh panitia, akhirnya kelasku mendapat giliran yang kesepuluh untuk bisa tampil bersaing dengan kelas-kelas lainnya. Lain halnya dengan penampilan yel-yel dan nasyid yang mendapat giliran ketujuh. Lebih cepat dari pada drama. Tapi tak apa-lah. Sekalian melihat penampilan dari kelas-kelas lain dan juga dapat mempertimbangkan serta mengira-ngira penilaian dari penampilan kelas lain itu.
Waktu yang diberikan oleh dewan juri untuk menampilkan drama hanya tujuh menit. Sama seperti pertunjukan yel-yel dan nasyid. Tidak boleh melebihi dari waktu yang ditentukan. Jika melebihi, maka akan mengurangi nilai pendapatan.
Peserta kedelapan mulai menunjukkan giginya di hadapan juri. Aku dengan aktor lainnya bersiap-siap. Berdandan se-keren mungkin dengan berbagai atribut yang telah disiapkan oleh tim perlengkapan. Ketika aku memakai jubah warna putih yang berkalungkan surban dileherku, Tiba-tiba salah seorang petugas perlengkapan menyodorkanku cat air warna putih. Aku baru teringat kalau jenggotku harus dicat berwarna putih. Begitu pula dengan cambangku yang mulai dipenuhi dengan bulu-bulu tipis, harus dicat warna putih pula agar terlihat layaknya Syekh-syekh dari Timur Tengah.
Ketika aku mewarnai jenggotku dengan cat air, aku merasa kesulitan untuk mengecatnya dengan sempurna. Sebab, di lokasi berdandan tidak disediakan cermin. Kuteteskan sedikit air di telapak tangan kiriku, lalu kucampuri dengan cat air berwarna putih. Kuaduk sampai rata hingga warna tawar air hilang total dan berganti warna putih susu yang kental. Kemudian kuoleskan saja ke daguku. “Hahaha….”, seketika, tawa itu meledak dari bibir teman-teman yang melihat dandananku yang narsis itu.
Aku merasa tak puas karna tak bisa melihat keadaan wajahku. Kemudian aku mengoleskan cat air di bagian cambang kanan-kiriku. Entah seperti apa gambarannya. Aku tak peduli dengan cemohan dan ledekan dari orang lain. “Yang penting happy”, sloganku dalam batin. Salah seorang temanku kusuruh untuk meratakan warna putih dibagian cambangku dengan tisu. Pelan-pelan temanku itu mengusapkan tisunya dipipi kananku. Aku tak tau bagaimana jadinya.
Drama; Singkat yang tak puas!!
Selesai berdandan dengan ‘jabatan’ masing-masing, para aktor melingkar. Mengumpulkan telapak tangan di tengah-tengah yang saat itu terkumpul pas di atas kepala Faisol yang sedang jonggok di tengah-tengah lingkaran tersebut. Kemudian membaca surat Al-Fatihah bersama yang dilanjutkan dengan yel-yel ‘kebesaran’ A.2; “Na na na na na na. Mum, mum, mumtazzZZZ!!”, teriak kompak dari teman-teman kelasku penuh semangat.
Saat tampil, tak ada rasa gemetar sedikitpun yang menyelimutiku. Aku hanya takut dengan waktu yang diberikan oleh juri yang singkat itu; hanya tujuh menit. Aku khawatir penampilan drama yang telah dilatih dalam sepekan tak bisa ditunjukkan sampai selesai. Saat berakting, aku hanya memikirkan waktu yang singkat dan padat itu. Tak ada yang lain. Aku sudah memperkirakan bahwa penampilan dramaku kali ini takkan sempurna. Tapi aku tetap berusaha untuk menampilkan yang terbaik. Bagaimanapun juga, drama yang telah ditampilkan di siang itu adalah hasil kerja keras dari teman-teman kelasku dengan penuh pengorbanan. Tak bisa dianggap remeh. Lebih-lebih jika sampai dicemoh.
Benar saja, saat tampilan drama dari kelasku kurang dua tahap, bel pertanda waktu telah habis berbunyi dari arah dewan juri, aku bingung tak karuan. “Bagaimana ini. Apa yang harus kulakukan selanjutnya?”, pertanyaan itu membuyarkan konsep drama saat itu. Teman-teman yang lain juga terlihat bingung. Alur cerita drama pun berubah tak seperti yang dikonsep sebelumnya. “Sudahlah, kalau lebih dari waktunya, dikurangi lho nilainya”, kata salah satu juri kepadaku. “Ah!!!”, teriakku dalam hati. Tak sengaja aku meludah dengan perasaan jengkel dihadapan juri. “Aku tak puas!!”, batinku memberontak. Aku keluar dari lokasi drama, lalu menyiram mukaku dengan air galon untuk membersihkan wajahku yang konyol itu.
Sangat singkat sekali. Aku tak menyangka jika waktu begitu cepat memotong perjalanan alur cerita drama. Aku tak yakin jika penampilan drama dari kelasku menjadi juara, toh dari teman-temanku banyak yang berkomentar baik, bagus, mantap dan pujian-pujian lainnya. Selepas tampil, aku tak memikirkan lagi drama itu. Kalau juara ya Alhamdulillah. Tapi, kalau kalah, “Ya sudahlah”, sambil menirukan lagu Bondan Prakoso.

Kolam Hiburan

Meskipun siang di Lembah Dieng tak sepanas di pulau garam Madura, aku tetap merasakan panas di siang hari itu. Sebab, kaos hitam yang kupakai membuatku gerah. Untung saja awan kelabu di atas Lembah Dieng bersabar menyelimuti acara spektakuler kali ini. Jadi, panas kulit di tubuh ini tak separah ketika tak ada awan mendung di atas sana.
Kolam yang sudah tercampuri dengan air kencing. hi...
Di Lembah Dieng yang sejatinya dikenal sebagai wisata pemancingan, tidak hanya menyediakan kolam pemancingan saja. Di tengah-tengah kolam pemancingan yang besar, terdapat pula bangunan megah yang dikhususkan untuk kolam pemandian anak-anak. Tapi, kali ini, yang mandi di kolam sedalam satu meter itu adalah mahasiswa UIN Malang yang berjumlah sekitar lima ratusan. Hampir seluruhnya tumpah jadi satu di kolam itu. Tak mengherankan jika semakin sore, air yang mulanya bening dan segar, menjadi agak keruh dan kotor. Mungkin karna sudah bercampur dengan air kencing. (Ih… jorok sekali lah!!! Tapi emang nyata kotor kok. Dapat dipastikan 80 persen mahasiswa yang mandi di kolam yang berbentuk bulat itu menumpahkan air kecilnyal dengan sengaja. Termasuk aku. Hehe… Toh meskipun begitu, air kencing yang ada di kolam itu takkan bau pesing. Diminum-pun airnya juga takkan beraroma pesing. Air kolam jauh lebih banyak dari pada air kencing yang keluar dari tiap-tiap celana mahasiswa dan mahasiswi yang mandi di kolam itu. Salah seorang teman bercerita bahwa ada teman ceweknya yang juga kentut dalam air. Gelembung udaranya mengepul layaknya balon udara yang diletuskan dalam air. Wkwkwkw…)
Sebelum dimulai pertandingan lomba tarik tambang dan polo air, mahasiswa seolah ‘mabuk’ di kolam renang. Tawa, canda, riang gembira yang tak terbayangkan sebelumnya menjadi tontonanku saat itu. Satu persatu mahasiswa dan mahasiswi diseret bergantian. Kemudian dilempar ke dalam kolam. Jeritan histeris turut mensponsori tontonan di siang yang berawankan mendung. Kolam renang yang mulanya sepi, kini berubah menjadi lautan mahasiswa dan mahasiswi UIN. Mata-mata kamera, baik dari handphone, handicamp, maupun dari camera digital, tiada henti mengedipkan matanya untuk mengabadikan pemandangan di kolam itu.
Aku, yang baru selesai melaksanakan shalat dhuhur, tak ingin ketinggalan untuk mengabadikan pemandangan yang langka dikesempatan kali ini. Dengan sarung berwarna merah yang masih kupakai dan tas hitam yang masih tercangklong di punggung, aku memotret suasana yang heboh di kolam itu. Layaknya wartawan yang beraksi untuk mengambil gambar, lagakku juga tak kalah dengan wartawan pada umumnya. Tapi, kali ini, aku menjadi wartawan yang santri karna memakai sarung. Hehe… Sepertinya, di kolam itu, hanya aku seorang yang memakai sarung. Kalaupun ada orang lain, itu adalah temanku yang baru saja selesai mengerjakan shalat bersamaku di mushalla.
Hampir seluruh teman kelasku basah kuyup karna satu persatu diantara mereka diseret lalu dilemparkan ke kolam renang. Aku yang memakai sarung tak tahan untuk menceburkan diri ke kolam renang meskipun sejam sebelum kolam itu ramai, aku telah bermesra-mesraan dengan air kolam yang tak sekeruh saat mereka telah memadatinya.
Kuambil kaos ketat berwarna hitam dan celana pendek berwarna hitam yang tadinya kupakai mandi di kolam. Aku pergi ke ruang ganti pakaian. Usai memakainya, aku mendekati kolam seraya menyerukan: “Heh rek gak nguncalno aku nang kolam tah?” (Wahai teman-teman, aku tak dilemparkan juga ke kolam tah), tawarku kepada teman-teman yang sedang asyik bermain air. Kontan saja mereka tertawa sambil mendekatiku. Mungkin terlihat aneh. Sebab, di saat teman-teman yang lain menghindar agar tak diceburkan ke kolam, aku justru menawarkan diri untuk dilempar. Bukannya kabur menjauhi kolam, eh, malah mendekati kolam. Tapi, aku memang berniat untuk mandi. Jadi, tak perlu khawatir dan takut basah.
Akhirnya aku dilemparkan ke kolam. Ini adalah yang kedua kalinya aku bermesra-mesraan kembali dengan air. Terasa sangat dingin sekali kali ini. Aku naik ke pinggiran kolam. Lalu memanjat water boom mini berwarna hijau yang terletak di kerumunan teman-teman kelasku. Aku duduk di atas water boom itu sambil mendekapkan tangan di dadaku. Aku kedinginan sekali saat itu. Saat duduk di atas water boom itulah aku melihat jelas semua aktifitas mahasiswa UIN di kolam. Sesekali cipratan air dari kolam mengenai tubuhku. Aku termenung melihat fenomena yang terdapat di kolam pemandian itu. Sebuah pemandangan realita dengan ingar-bingar yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Sesaat aku melamun. Aku teringat sebuah film dengan judul ‘Parfume’. Sebuah film yang mengisahkan tentang seseorang yang memiliki kepekaan terhadap segala jenis aroma yang mampu membuat parfum atau minyak wangi spektakuler. Dia mampu membuat minyak wangi yang aromanya mampu membuat orang lain terhipnotis. Singkat cerita, dalam ending film itu, digambarkan sebuah kota yang penuhi manusia telanjang bulat dan berbuat mesum lantaran terhipnotis oleh aroma minyak yang diraciknya dari 13 bangkai wanita cantik di kota tersebut. Tapi, yang kulihat saat berada di kolam itu, aku tidak menjumpai hal-hal berbau mesum. Yang ada hanyalah tawa canda. Seolah-olah kolam itu adalah taman surga yang begitu nikmat dirasakan oleh mereka yang asyik dengan air-airnya yang semakin sore semakin keruh.
Tak mengira jika keberadaanku di lokasi itu, seolah menjadi dua pemeran; subjek dan objek. Aku menjadi objek karna aku berada di tengah-tengah kerumunan aktifitas tawa canda teman-temanku. Menjadi subjek karna aku juga merasakan sebagaimana teman-teman yang mereka rasakan. Ah, sebuah pengalaman hidup saja. Pengalaman yang terekam memori otak dan sewaktu-waktu dapat diputar saat mengenangnya.

Pengumuman Juara Lomba

Semakin sore udara semakin dingin. Lembah Dieng mulai tertutup kabut yang tak begitu tebal. Rintikan hujan sesekali membasahi tanaman-tanaman hijau yang tumbuh di daerah sejuk itu. Aku yang baru saja selesai melaksanakan shalat ashar di sebuah masjid yang masih dalam tahap pembangunan, tidak langsung kembali ke lokasi penutupan acara. Aku masih ingin menikmati pemandangan di pinggir kolam pemancingan bersama teman-teman kelasku. Sesekali pindah tempat, dari satu teman ke teman yang lain untuk mencicipi makanan ringan.
Suara sound sistem berulang kali memberi instruksi agar seluruh mahasiswa berkumpul kembali untuk menutup acara out bond sekaligus mengumumkan juara-juara lomba yang telah diselenggarakan oleh panitia out bond hari itu. Dalam sehari itu, ada empat acara lomba yang digelar. Lomba nasyid yang digabung dengan yel-yel, lomba drama Arabic, lomba tarik tambang dan lomba polo air. Semua perlombaan itu berjalan dengan penuh kemesraan. Sangat disayangkan jika ada salah satu teman kelas atau teman seangkatan PKPBA yang melewatkan acara ini.
Aku dan Fikri; Bersabar memnanti rampungnya acara
Di lokasi berkumpulnya para peserta yang terlihat capai, gerimis turun perlahan-lahan. Tangga besar yang menyerupai stadion itu mulai terlihat basah. Aku hanya berdua dengan Fikri di lokasi itu. Sedangkan teman-teman kelasku pulang semua. Sebelum kududuki tempat yang telah ditentukan panitia, aku terlebih dahulu mencari bungkus kue yang terbuat dari kardus untuk kujadikan alas agar sarungku tak basah. Dua bungkus kuambil. Kuberikan selembar kardus berwarna putih itu kepada Fikri. Aku duduk di samping Fikri sambil mengonsep gerakan dan kata-kata jika ‘A.2’ nantinya dipanggil panitia. Tak terbayangkan bagaimana jadinya saat ‘A.2’ dipanggil panitia, sedangkan yang merespon hanya dua orang dari jumlah total 37 orang. Tentu panitia akan bertanya ‘mana yang lain?’.
Ternyata benar dan nyata. ‘A.2’ dipanggil oleh panitia sebagai peraih juara ke satu dalam perlombaan drama berbahasa Arab. Aku dan Fikri terkejut mendengar pernyataan panitia. Mustahil, tak percaya dan seolah bermimpi disiang bolong saat mendengarnya. Aku dan Fikri pun tertawa dan berteriak kegirangan. Persis seperti perayaan yang dilakukan suporter sepak bola Aremania saat melihat salah seorang dari kesebelasan timnya berhasil membobol gawang lawan. Teriakan histeris sebagai penanda kegembiraan membuat sorot mata teman-teman dari kelas lain tertuju padaku dan Fikri.
Saat aku dan Fikri tertawa riang gembira, mereka dari kelas lain –termasuk pula panitia— yang melihatku, justru menertawakan keberadaanku yang hanya berdua saja. Ya, hanya berdua orang saja yang memeriahkan kemenangan lomba drama itu. “Lho kok Cuma berdua, mana yang lain?”, mungkin seperti itulah pertanyaan yang muncul dibenak masing-masing pasang mata yang melihat kelasku yang hanya didominasi dua manusia.
Aku tak peduli dengan “Huuuuuuh”, “hahaha”, dan “wkwkwkwk” yang mereka luncurkan begitu saja saat melihat keadaan A.2 yang mengenaskan. “Cuekin aja mereka. Yang pentingkan A.2 menang…”, batinku membela. Memang agak konyol kelihatannya. Tapi, bagiku, ini adalah sejarah terunik yang akan selalu dikenang dan akan ditertawakan oleh pendengar crita ini ketika dikisahkan kepadanya.
Selepas pengumuman juara lomba drama itu, aku langsung membuat kata-kata sms di HP dengan memasang kata-kata yang agak ‘sok’ sastrawan dan membumbui sumpah serapahan tentang kemenangan A.2. Lalu sms itu kusebarkan ke seluruh teman kelas A’2 PKPBA. Aku sangat bahagia sekali saat itu. Beberapa menit usai pengiriman sms, balasan demi balasan sms dari teman-teman yang masih dalam perjalanan menuju UIN memenuhi HP ku. “Alhamdulillah deh kalo gitu”, seperti itulah gambaran sms yang masuk di inbox-ku.
“Ah… Akhirnya berakhir juga acara ini” gumamku dalam hati sambil berjalan untuk bergegas pulang bersama Fikri. Untung saja aku bawa sepeda motor. Seandainya tak ada sepeda motor, mungkin aku juga ikut rombongan teman-teman kelas untuk pulang bersama dan tidak akan mengetahui bahwa kelas A.2 menjadi juara dalam lomba drama. Tapi tidak, perjalanan di out bond saat itu seperti sudah menjadi takdir yang tak dapat dihindari. Semua yang terjadi saat itu seperti drama yang memang diciptakan secara sengaja oleh manusia layaknya sinetron Indonesia yang serba kebetulan. Namun tidak demikian dengan fenomena yang kualami saat out bond. Semua yang kulalui adalah nyata dan tak dibuat-buat oleh panitia. Tidak pula kukonsep sendiri agar pada ending-nya kelasku menjadi juara. Semua yang kualami memang murni.
Akhirnya, perjalanan out bondku ber-ending dengan happy ending dan sangat memuaskan, toh sebenarnya seluruh tenaga tubuhku terkuras habis. Semua yang kualami saat itu tak ubahnya sejarah yang berada di masa-masa pencerahan. Mengalami kejayaan pikiran dan benar-benar me-refresh pikiran dari beban-beban berat yang selama sebelum out bond hampir membikin gila hidup ini.
Semoga dengan tulisan ini, sejarah out bond tidak hanya berhenti sampai disini. Toh tujuan utama adanya out bond adalah untuk refreshing, tapi tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk melupakan acara yang ini. Selain refreshing, terdapat makna yang lebih dalam lagi dari sekedar tujuan itu, yaitu menyambung ukhuwah yang masih berceceran. Harapan besar diadakannya acara ini adalah agar dapat menjaga hubungan agar lebih harmonis meskipun tak harus romantis. Menjadikan PKPBA sebagai lingkungan yang sejahtera, bukan dianggap nista. Tidak hanya untuk kesuksesan saat ini, tapi juga sampai akhir hayat nanti. Wallahul musta’an [roy]

Al-Faroby 18, lewat tengah malam. Selasa 08 Maret 2011 pukul: 00.11 WIB

Belum ada Komentar untuk "Out Bond PKPBA"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel