Dunia Bisnis

Pernah suatu saat, Dosen yang mengajariku mata kuliah Psikologi Pendidikan menyatakan bahwa usia 21-23 tahun adalah masa dimana seseorang memiliki sifat yang cenderung malu untuk meminta uang kepada orang tua dan ingin berusaha mencari uang sendiri untuk kebutuhan hidupnya. Tentu dengan cara yang halal.

Pada realita yang kualami memang demikian. Sejak memasuki smester 3, aku mengalami revolusi bisnis yang super gila. Berbagai bisnis mewarnai dunia perkuliahanku. Memang, sejak smester 1 aku sudah memasuki dunia bisnis dengan menjual pulsa kepada rekan-rekan di kampus. Lebih dari dua ratus nomor hp ku-smsi untuk mempromosikan produk pulsaku. Promosiku cukup unik, “Tidak usah jalan ke conter. Cukup dengan kirim sms nomor tujuan dan nominal yang diinginkan serta bisa dihutang kapan saja” adalah promosi yang paling disukai dan diminati kalangan mahasiswa yang hidup pas-pasan.

Namun, bisnis yang diperhutangkan itu cukup membuat pening kepala. Saat teman-teman menghutang tanpa diketahui kapan akan diserahkan uang pulsa tersebut, akan menjadikan bisnis macet. Uang yang seharusnya didaur ulang atau berputar, justru harus terhenti entah sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Hal yang semacam inilah yang kemudian menjadi beban pikiran. Namun, anehnya, justru pengalaman yang seperti inilah yang memiliki potensi besar untuk membentuk karakter, sikap dan bertindak yang lebih dewasa.

Pada kesempatan disemester tigaku, aku mempersempit objek pelanggan pulsa. Sebab, ada beberapa orang yang menghutang pulsa, namun sampai penulisan ini rampung, orang yang menghutang belum tersadarkan oleh hutangnya. Entah memang lupa atau dilupakan, yang jelas aku sudah memberi peringatan. Aku hanya bisa bersabar dan berusaha mengikhlaskannya. Tapi terasa sulit. Memang beginilah manusia. Lebih mementingkan dan mengutamakan masalah dunia dari pada akhirat. Patut diwajari, tapi tidak berarti dibiarkan begitu saja.

Aku hanya mempromosikan kepada teman-teman sejurusan, teman kelas di PKPBA (Program Khusus Pengembangan Bahasa Arab) yang berjumlah 36 orang, dan teman-teman di organisasi, baik intra maupun ekstra kampus, serta teman-teman dekat yang patut untuk diamanati. Jadi, untuk objek penjualan pulsa kali ini memang agak sempit. Namun, meskipun sedikit, tidak mengurangi jatah perjalanan bisnisku. Patut disyukuri.

Sebenarnya, sejak awal kuliah, aku tidak hanya jualan pulsa. Pernah aku menjual buletin seharga 11 ribu. Saat itu aku masih belum memiliki banyak teman. Aku mempromosikannya keapada teman-teman kelas. Aku hanya membawa lima eksemplar buletin. Tapi, hanya dua buletin yang laku. Itupun setelah dihutang selama kurang lebih satu bulan.

Pernah pula aku menjual obat mata dan kosmetik. Sasarannya juga teman-teman kelas. Namun bisnis semacam ini tak terlalu diminati oleh teman-teman. Sebab, selain harganya cukup tinggi, rata-rata teman kampusku juga merupakan konsumtor tingkat menengah ke bawah yang tidak bisa semena-mena membeli barang semaunya. Harus mikir tujuh kali, bahkan mungkin melakukan shalat istikharah terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk membeli barang.

Tidak hanya itu saja, memasuki semester dua aku mulai melebarkan sayap bisnisku. Tekadku semakin meruncing. Mau tidak mau aku harus menyelami dunia bisnis yang memang memberikan keuntungan materi. Secara pribadi, aku memang bisa dikatakan anak orang yang mampu. Namun, aku menginginkan yang lain dari keberadaan anak orang mampu. Aku ingin mandiri dan melatih mental serta mencoba menghayati kehidupan masa depan yang dapat direfleksikan di masa kuliah.

Pada satu kesempatan, aku oleh teman kamarku ditawari untuk menjual nasi goreng dengan harga yang relatif murah. Tiga ribu per bungkus. Sangat pas sekali jika yang menjadi konsumtornya adalah teman-teman kuliah yang tinggal di asrama. Spontan saja aku tertarik untuk melakukan bisnis semacam ini. Objek utama penjualannya adalah teman-teman asrama laki-laki. Akan tetapi, dengan perjalanan waktu, aku juga menambah order objek dengan menghubungi teman-teman perempuan yang berada di asrama putri.
Keuntungan menjual nasi goreng mengucur bak air keran. Keuntungan penjualan nasiku sering kali kubelikan buku setelah ditotal bersih. Maksud bersih disini setelah aku membagi dua hasil penjualan dengan temanku dan telah disumbangkan pula untuk bancaan atau yang seirama dengan istilah tasyakuran dan selametan bersama teman-teman kamar. Bahkan, pernah pula aku menggunakan hasil keuntunganku tersebut untuk perjalanan ke Jogja dalam rangka peliputan hari Waisak di candi Borobudur.

***

--“Narasi sastra percobaan”—
Hari demi hari disemester tiga kulewati dengan penuh semangat baru. Lembar-lembar digital mulai terisi dengan catatan-catatan harian yang terkadang membikin hati terketuk untuk mempertanyakan: untuk apa aku melakukan semua ini? Untuk siapa aku melakukan hal semacam ini? Ada gunakah aku memeras otakku dengan menggilas kata perkata yang kemudian menjadi kalimat?
Pikiranku semakin tak karuan. Hati seperti diperas kuat oleh kekuatan yang tak dapat dipahami apa maksud pemerasan tersebut. Angan hanyalah angan yang tak dapat direalisasikan seutuhnya. Itulah hebatnya angan yang sebagian orang dikata impian.

Entah aku memimpikan apa hingga membuat langkahku untuk selalu, selalu dan terus berkeinginan memasuki dunia bisnis. Beberapa orang menawariku untuk mengikuti MLM (Multi Level Marketting) yang mengharuskan mencari rekan sebagai anak buah dan menjadikan aset perputaran uang. Semakin lincah seseorang mengumpulkan banyak orang, semakin cepat pula perolehan uang. Penawaran seorang teman kepadaku tak lepas dari kepribadianku yang mudah melakukan komunikasi dengan segala macam jenis manusia. Tapi, sayang, aku tak begitu minat mengikuti bisnis semacam ini.

Aku lebih suka dengan bisnis yang memang membutuhkan kerja keras, meskipun tak dapat dielakkan bahwa dengan berpikir pun seseorang juga dapat menghasilkan uang. Ya, orientasinya hanyalah uang, uang dan uang. Dunia, dunia, dan dunia yang entah sampai kapan kepuasan itu akan berakhir.
Zaman Akhir dan Akhir Zaman

Gila dunia. Mungkin itulah yang benar-benar merasuki jiwa. Pikirku hanya uang yang dapat menuntaskan segala masalah di dunia ini. Telah jelas datang masa yang diprediksikan oleh orang-orang terdahulu bahwa kehancuran manusia diantaranya adalah mencintai dunia. Entah, aku sendiri apakah benar-benar mencintai dunia atau tidak.

Dalam tulisannya yang tertuang dalam buku yang berjudul Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, Dr. Adian Husaini mengutip pernyataan M. Natsir yang merupakan pesan kepada Dr. Amien Rais dan kawan-kawan pada tahun 1986, bahwa “Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia.” Kata Natsir lebih lanjut: “Di Negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang “baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian elite masyarakat). Tetapi, gejala yang baru ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.”

Catatan itu sebenarnya untuk mengkritisi generasi bangsa yang memang sudah tak peduli lagi dengan nasib bangsanya. Lebih cenderung untuk mementingkan diri sendiri dari pada orang lain. Itulah yang kemudian kukhawatirkan dengan keadaanku saat ini. Namun, kegiatanku untuk menumpuk uang adalah untuk belajar mandiri. Aku laki-laki yang tentunya kelak, saat mengarungi hidup baru, akan memikul tanggung jawab yang lebih besar yang tidak hanya berkaitan dengan batin saja, tapi juga kebutuhan materi. Selain itu, aku juga ingin mengumpulkan serpihan pengalaman di dunia perkuliahan.

Dunia bisnis di lingkungan perkuliahan sebenarnya mudah ditemui, namun jarang yang mau dan bisa menemui. Jika hanya untuk sampingan tanpa menjadikan tujuan dalam berbisnis, itu lebih baik. Sebab tujuan ke kampus adalah untuk menuntut ilmu. Lebih mahal lagi adalah dengan menumpuk pengalaman saat kuliah. Bagaimanapun, pengalaman jauh lebih berharga dari pada hanya sekedar duduk dalam  kelas saat kuliah.

Mengakhiri catatan ini, sekali lagi, alangkah baiknya jika dunia bisnis saat kuliah disadari sebagai sampingan, bukan tujuan. Kuliah yang akademis memang harus diutamakan tanpa memungkiri kegiatan lainnya. Membagi waktu tidaklah mudah, tapi dengan tekad yang bulat dan semangat yang menggelora, apapun bisa diatasi. Semoga catatan ini bermanfaat bagi para pembaca.

M. Roihan Rikza, selesai diketik pada hari Ahad 9 Oktober 2011. –untuk yang gila akan pengalaman—  

Belum ada Komentar untuk "Dunia Bisnis"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel