Tentang Cinta

Suatu saat saya pernah mendapat pernyataan dari salah seorang teman bahwa: “mencintai itu mudah, tapi mencari yang tepat buat dicintai itu sulit”. Kemudian timbullah sebuah perenungan dari pernyataan tersebut yang saya simpulkan bahwa: “setia untuk satu cinta itu adalah tantangan”.


Memang, dari dua ungkapan tersebut sepertinya, bukan, bukan hanya sepertinya, tapi memang tak sealur dan serasa. Bagai gula dengan jamu atau madu dengan racun. Tak dapat digabungkan. Namun bukan berarti kabur dari konsekuensi arti cinta yang seharusnya terdapat dua ungkapan di atas dan masih banyak lagi ungkapan tentang cinta yang sangat relatif.

Siapapun boleh mengartikan cinta. Satu orang dengan yang lainnya yang sedang merasakan cinta takkan sama dalam mengungkapkan arti masing-masing cintanya. Mungkin ada yang akan berkata bahwa cintanya adalah bentuk kesetiaan, cintanya adalah dengan perhatian yang lebih, cintanya adalah saat sedang bersama baik suka maupun duka dan masih banyak lagi ungkapan yang seolah takkan basi meskipun harus terulang ribuan, bahkan sampai jutaan kali.

Bagaimana tak bosan dan tak jenuh anak cucu Adam ini membincangkan cinta. Dari masa ke masa cinta tak ubahnya bayi lahir yang terus menerus mewarnai bumi dengan berbagai macam bentuk dan latar belakang yang saling melengkapi. Tak pernah jenuh untuk diperdebatkan dan takkan bosan untuk dijadikan topik utama dari generasi ke generasi. Itulah dahsyatnya cinta.

Berbincang tentang cinta, maka juga berdebat dengan batin tentang perasaan. Dalam bercinta, perasaan takkan pernah menemukan ketenangan. Gundah gulana, gelisah dan bingung adalah makanan keseharian bagi pemodal cinta.

Saat ini, teman-teman kampus seangkatanku yang mengenalku, utamanya yang sejurusan, banyak yang menanyakan kisah percintaan seseorang yang berinisial R dengan F. Berita putusnya cinta antara R dan F tersebar luas. Pertanyaan demi pertanyaan tak percaya berulang kali menghampiriku. Seolah kedua pemeran cinta itu menjadi artis dadakan yang baru dikenal publik.

Padahal, kisah mereka tak disebarkan lewat sms, media cetak, radio, maupun televisi. Dalam menjalani hubungan-pun keduanya tidak terlalu ‘buka-buka-an’. Hubungan mereka cenderung tertutup. Tapi, begitu berita putusnya kedua pasangan tercium publik, tiba-tiba saja sederet pertanyaan melayang. “Masak sich mereka udah putusan? Khan mereka, sepertinya, baru menjalani dua mingguan?”, seperti itu sebagian pertanyaan yang kudengar dari salah seorang teman.

Sebenarnya, aku sendiri tidak hanya sekali dua kali mendapat berita putus cinta dari seorang teman. Ada yang sejak smester I menjalani hubungan, tapi, begitu memasuki smester II kisahnya tidak ditemukan lagi. Ada yang bermain api cinta mulai smester I dan II, namun, di awal-awal smester III hubungannya mulai retak. Tapi hebatnya, tak sedikit yang masih kuat dan kokoh menjalani hubungan sampai pergantian smester, bahkan dengan sadar, salah seorang teman, berani menyatakan bahwa dia akan menjalani hubungannya itu sampai jenjang pernikahan. (WOW!!! Mantab!!!)

Ah… seperti itulah dunia cinta. Aku sendiri masih bimbang untuk bercinta yang kesekian kalinya. Toh, sebenarnya perasaan cinta tentu kumiliki, tapi, aku ingin memiliki cinta yang suci. Masaku kali ini, bukanlah untuk sekedar menikmati cinta semu. Aku ingin merasakan cinta yang benar-benar cinta yang tak cacat. Jika ada yang bertanya, seperti apa sich cinta yang suci itu? Bagaimana sich cinta yang tak cacat itu? Maka, akan kupaparkan cinta menurut versiku.

Cinta suci, suci disini kupandang dari pemahaman agama bahwa sejatinya cinta manusia antara lawan jenis adalah ketika dia sudah mengikat percintaannya itu dengan tali pernikahan. Yaitu cinta yang membuahkan pahala, bukan dosa. Cinta yang tiap tatapan mata, senyum gembira, duka bersama sampai pada tatanan sosial dapat dijadikan suri tauladan.

Sedangkan cinta yang tak cacat adalah cinta yang memahami dan menyadari bahwa tak ada manusia yang sempurna. Ketika kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, maka kita juga harus menerima resiko apapun yang ada pada seseorang yang kita cintai. Ketika kita melihat orang lain yang tampaknya lebih menarik dan lebih sempurna dari pada seseorang yang kita cintai, namun kita tetap bertahan dengan cinta kita miliki, saat itulah kita sedang berada di titik pasti bahwa kita memiliki cinta yang tak cacat.

Mengakhiri catatan ini, penulis ingin menyatakan bahwa cinta itu indah meskipun penderitaan yang harus dirasakan. Semoga catatan ini menjadi sebuah renungan. Bagi yang putus cinta atau sedang sakit hati ataupun patah hati, ketahuilah bahwa itulah sejatinya cinta. Sedangkan yang sedang merasakan percikan kebahagiaan cinta yang tak suci, maka janganlah berlebihan untuk melampiaskan cinta semu itu. Untuk seseorang yang menemukan cinta suci, berbahagialah dan memohonlah kepada Dzat yang telah memberikan cinta agar cinta suci itu menjadi jalan menuju ridho-Nya dan menjadi cinta yang abadi. Wallahul Musta’an [roy]

M. Roihan Rikza, selesai diketik pada hari Selasa, 9 Agustus 2011. Pukul 11.19 WIB. “Untuk semua yang bercinta”

Belum ada Komentar untuk "Tentang Cinta"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel