Putusnya Layang-layang Sang Pendekar

Masih teringat di benak ini. Bulan Januari, entah hari apa.Yang jelas adalah tanggal 13, tahun 1994. Kisah itu terekam dengan sempuran dalam memori otakku. Kejadian unik yang pertama kali kurasakan dalam sejarah hidupku. Bila kuingat, senyum bibir melebarkan pipiku ini.
Sore itu, langit biru menaungi acara permainanku. Di sawah depan rumah, kuterbangkan layang-layang yang siap untuk bertanding dengan musuh-musuhnya. Hampir dua bulan aku menerbangkan layang-layang yang kubuat sendiri dari bahan bambu, benang jahit dan kertas minyak. Lebih kreatif dari pada teman-temanku yang membeli layang-layang di warung Wa’ San dengan harga dua ratus rupiah. Padahal, aku dengan dua ratus rupiah mampu membuat lima layang-layang yang tak kalah hebat goyangannya dengan layang-layang buatan Wa’ San.
***
            “Ayo To!!! Tunjukkan kehebatanmu!!! Kali ini aku takkan kalah denganmu lagi!!!”, jeritan Kang Kasno dari tengah sawah membuyarkan lamunanku.
            “Oke… aku terima tantanganmu!!!” kataku dengan semangat sambil menarik benang layang-layang yang mulai pudar warna aslinya.
“Alah Kang Kang… Nanti yo kalah lagi”, kataku lirih. Sebenarnya, sudah tak terhitung berapa kali Kang Kasno, anak lurah desaku itu kalah bertanding denganku. Terakhir kali, saat Kang Kasno kalah, dia menamparku dengan sandal jepitnya karna menuduhku bermain curang. Tapi aku tak melawannya. Selain lebih tua, tubuh Kang Kasno lebih besar dari pada diriku yang kurus keriting.Kulitku-pun hampir mirip kulit orang Irian akibat berjemur di sawahtiap hari sebab menerbangkan layang-layang yang sangat mengasyikkan itu.
            Satu alasan lagi mengapa aku tak melawan  Kang Kasno saat menamparku adalah karna Ayu, adik perempuan Kang Kasno, ada di TKP (Tempat Kejadian Perkara).Bahkan Ayu berusaha mencegah kakaknya yang sombong itu, agar tidak menamparku. Aku tak sanggup melihatAyu dari jarak  yang begitu dekat. Bisa-bisa aku mati berdiri seandainya dia menolongku saat kejadian itu. Tapi tidak, Kang Kasno langsung membawa pulang adiknya yang sangat cantik itu, setelah menamparku.
            “Ayu… oh Ayu Rahmawati…!!!” nyanyiku dalam hati.
***
            Kali ini aku akan menunjukkan bahwa aku tidak akan dituduh curang lagi oleh Kang Kasno. Aku adalah ‘Pendekar Layang-layang’ yang patut diteriakkan adik-adikku di sawah saat aku menang. Aku-lah yang pantas menguasai wilayah sawah depan rumahku dengan jurus ‘Aji-aji Nyungsep’ layang-layangku yang telah dikenali oleh teman-temanku di sawah kampungku.
            Kutarik benangku dengan cepat. Angin kencang kini memihak pada layang-layangku. Dengan begitu aku akan mudah mengambil tempat di bawah layang-layang  Kang Kasno yang mulai ‘goyang dombret’ karna tidak menemukan angin. Badan sebelah kiri layang-layangku mengambil tempat. Tepat di bawah layang-layang si kepala besar itu. Posisi seperti ini akan mudah untuk memutuskan  benang layang-layang miliknya. Segera kubawa lari sambil kutarik dengan cepat benangku. Inilah yang kusebut sebagai jurus ‘Aji-aji Nyungsep’-ku yang paling manjur untuk mengalahkan musuh kepala batu itu.
“Wush… Ssssttt… Del…”, layang-layangku putus. Aku terkejut. “Hah… Tidak. Tidak. Tidak mungkin ini terjadi”, aku tak percaya akan kejadian di sore ini. Layang-layangku putus dan menjadi rebutan teman-temanku.
            Sesaat sebelum layang-layangku putus, aku dikejutkan suara yang sangat kukenali. Yah… itu adalah suara Ayu, bidadari kecilku, yang berteriak di pinggir sawah. “Warto, Aku benci kamu! Aku benci kamu! Aku tak mencintaimu”, suara itulah yang membuatku cengang hingga tak bisa berkosentrasi dengan posisi layang-layangku yang seharusnya bisa mengalahkan Kang Kasno di sore yang indah itu.
            “Hahahahaha…. Kapok kowe Le… pulang sono! Ambil lagi layanganmu! Ayo kalahkan Aku!”, suara Kang Kasno menggelegar mengalahkan suara hembusan angin sawah yang terdengar jelas di telingaku. Tapi aku tak menghiraukannya. Aku justru tak paham dengan ucapan Ayu itu. Terkejut. Penasaran. Pertanyaan demi pertanyaan melintas di benakku. Ada apa ini?
            Aku berlari menuju Ayu yang masih berdiri di pinggir sawah. “Apa-apaan ini Yu? Kowe serius toh mutuske Aku? Ono opo sebenere? Crito! Crito!”, tanyaku padanya penasaran. “Alah… kuwe guyon kan?”, hiburku.
            “Aku benci kamu To! Pergi sana! Jangan ganggu Aku lagi!”, teriak Ayu yang diiringi tangis air mata yang mulai membasahi pipi lembutnya.Aku mencoba mengusap air mata di pipinya. Tapi justru di tampar. “Plak!!!”
            “Aduh”, triakku kesakitan. “Ada apa toh Yu?” tanyaku semakin penasaran. Ayu tak menjawab, bahkan lari menjauhiku, kemudian pulang.
            Aku heran. Gerangan apa yang membuat Ayu mengatakan kata-kata seperti itu. Meskipun aku sudah tak lagi gemetar saat menghadapinya, tapi apa yang membuatnya berubah begitu saja. Padahal baru setengah bulan yang lalu aku mengungkapkan cintaku padanya di belakang kandang sapi milik Pak Haji Badrun, setelah ngaji.
            Pertanyaan-pertanyaan ganjil menyerangku. Apa salahku? Ada apa ini? Tiba-tiba saja hati ini terasa tertekan.
            “Cak… Cak… Iki opo Cak?”, teriak adik kecilku yang berlari-lari kecil diikuti Emakku dibelakangnya membuyarkan lamunanku. Adikku melambaikan kertas yang dibawanya, lalu memberikannya padaku.
            “Undangan teko sopo toh iku Le…?”, Tanya Emak sambil mengambil adikku yang kemudian dipeluknya dalam gendongan kasih sayangnya.
            Aku terkejut. Ini kan undangan dari Ayu untuk ulang tahunnya yang ke-17. “Mati Aku…”, ucapku kaget sembari menamparkan kertas undangan itu ke dahiku.
            “Ini undangan dari Ayu Mak. Aku lali lek saiki Ayu ulang tahun. Padahal wingi aku wes tuku kado speial kanggo Ayu. O alah Yu… Yu…”
***
            Aku sadar kalau Ayu marah dan memutuskan cintaku karna Aku tak hadir dalam pestanya. Aku lupa. Maafkan Aku Yu…
“Sumpah Aku lupa Yu. Mosok gara-gara Aku ndak hadir nang undanganmu,  kowe tego mutuske cintaku seng tulus iki, lak yo kebangeten toh?”, tanyaku pada Ayu di jam istirahat sekolah keesokan harinya.
“To… Kamu ngerti ndak seh… Aku tuh wes nyiapin pesta kecilku karo temen-temen kelas buat nyambut dirimu juga To!!!”, tutur Ayu dengan nada agak marah. “Kamu tau ndak To, kalau tanggal 13 Januari itu adalah ulang tahunmu dan ulang tahunku?”, terang Ayu yang mengerutkan keningku. “Aku tau To, lek kowe iku ndak pernah diulang tahuni karo Makmu. Sebab itu, Aku memeriahkan ulang tahunku karo ulang tahunmu”.
“Masak seh Yu? Kamu tau dari mana? Tau dari sopo? Lha wong makku aja ndak pernah crita kok tentang tanggal kelahiranku. Seng Aku weruh iku, Aku lahir selamet. Aku biso dodolan layangan plus biso jadi ‘Pendekar layang-layang’ ndek kampongku.Makku seneng kok... Tambah seneng maneh lek Makku ngliat Kamu dolan nang omahku. Hehehe…”
“Oooo… dasar cowok deso! Bocah gemblong. Ndak ngerti karo maksudku”, bagai petir. Ayu marah padaku.
“To… Aku melakukan kemeriahan pesta ulang tahunku itu karna Aku sayang banget ama Kamu To. Tapi, Kamu justru tidak hadir. Kamu lebih suka dan cinta pada layanganmu dari pada Aku. Kamu lebih berat meninggalkan layanganmu dari pada Aku sampai Kamu lupa dengan hari ulang tahunku. Aku benci. Aku benci Kamu. Kita Putusan aja To. Aku tak mau lagi menjadi cinta konyolmu itu To. Pergi sana. Jangan dekati aku lagi.”
“Meskipun cuma setengah bulan, Aku merasakan cintamu Yu. Kamu adalah cinta pertamaku. Aku akan tetap mencintaimu Yu… Aku tidak akan mencari cinta lain sampai kamu kembali padaku Yu… Maafin Aku Yu…”
“Yu…”
“Pergi!”
“Ayu…”
“Pergi! Jangan dekati Aku lagi”
Aku hanya bisa berdiri tegak dengan penuh ketegangan. Tak terasa air mata menetes membasahi pipiku. Aku Tak kuasa menahan luka yang begitu dahsyat mengguncang jiwaku ini. Hatiku terasa ditusuk ribuan pedang berkarat. Akankah cintaku itu pergi jauh meninggalkanku? Akan kemana diriku ini? Cinta pertamaku hilang begitu saja.
***
            Kuratapi kesedihanku dengan sinar matahari sore yang terhampar di ujung barat. Menghiasi pemandangan sawah desaku yang subur. Pohon-pohon di pinggiran sawah menari-nari bersamaan dengan hembusan angin sepoi-sepoi. Sejuknya menampar mukaku yang seolah tak memiliki harapan hidup. Tak kuat hati ini membendung derasnya luka yang mengiris-iris hati ini. Sakitnya melebihi sakit gigiku. Sebab, seingatku, ketika aku sakit gigi di waktu kecil, aku masih bisa berteriak kesakitan. Tapi, saat ini, ketika hatiku yang sakit, aku tak mampu menjerit. Ini adalah sejarah pertama kali kurasakan sakit hati. Begitu dahsyatnya. Hingga membuat bibirku membungkam. Lidahpun tak mampu berkecap. Terasa sulit sekali menelan ludah. “Oh… Merananya diriku ini…” rintihku dalam hati.
            Cintaku benar-benar putus dengan putusnya layang-layangku. Akhirnya kubakar semua dagangan layang-layangku yang terpajang di halaman rumah. Semua temanku yang menerbangkan layang-layang di depan rumahku kumarahi dan kulempari batu agar tak memainkan lagi layang-layang. Sejak itu tak ada lagi layang-layang yang beterbangan di kampungku. Takkan ada lagi yang menyebutku ‘Pendekar Layang-layang’. Dan takkan terulang kembali kisah cintaku pada Ayu, gadis desa yang mempesona itu.
Selesai diketik pada hari Rabu malam Kamis tanggal 9 Juni 2010 pukul 22.18 WIB
Kucoba mengumpulkan kembali puing-puing kalimat dalam cerita
Untuk merangkai kembali asa dan cita yang sempat terlepas
dan hampir menghilang.

Belum ada Komentar untuk "Putusnya Layang-layang Sang Pendekar"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel