Bentengan

Permainan, permainan, dan hanya permainan yang kukenal saat itu.Masa kecilku direnggut dengan berbagai hiburan yang tak puas dan tak bosannya kugeluti bersama teman-teman kampungku.Seperti halnya musim panas dan musim dingin di negri yang beriklim tropis ini, permainanku juga berubah-ubah.Melihat cuaca yang berkembang di berbagai tempat yang masih eksis dengan model-model permainan unik dan menyenangkan.




Tidak hanya perubahan musim saja, umur-pun turut menjadi mesin perubahan yang aktif.Di masa kecil, tak jarang jika aku ikut teman-teman perempuanku untuk bermain masak-masakan.Dedaunan di ladang-ladang kampung menjadi sasaran utama dalam permainan yang memerankan tokoh ibu-ibuan, anak-anakan, bapak-bapakan, dan tak jarang polisi-polisian,dalam permainan tersebut.
            “Bu… Icha berangkat sekolah yah…”
            “Ya, sini dulu anak manis…Sarapan dulu.Ini, Ibu sudah buatin bubur merah.(Bubur-buburan tersebut terbuat dari batu bata yang ditumbuk halus. Hehehe… ;D).Jangan lupa, nanti selesai makan, salim dulu pada Ibu dan Bapak. Jangan nakal lho di sekolahan…”.Model seperti ini menjadi drama tak terlupakan di masa yang takkan terulang lagi kejadiaannya.Masa-masa penghabisan dengan tawa, senang, gembira dan bahagia.Itulah masa kecil.
            Dengan bertambahnya umur, permainan untuk anak-anak seusia tujuh tahun juga berubah.Aku dan teman-teman memiliki permainan kampungyang disebut ‘bentengan’.Permainan unik itu tak kalah serunya dengan permainan monopoli dan ular tangga.Sebab, bentengan bisa diikuti berapa-pun jumlah peserta yang hadir di lokasi permainan.Tapi, bila kuhitung, jumlah pemain bentengan di kampungku tak pernah lebih dari sepuluh orang.Lain halnya bila bentengan dimainkan di sekolahan.Jumlahnya bisa membeludak sampai belasan peserta.Kehebatannya lagi adalah, permainan ini tak membedakan cewek dan cowok.Semua jenis kelamin boleh ikut.
            Aku tidak tahu sejarah awal permainan ini.Tapi, sepertinya, permainan yang banyak menguras tenaga ini adalah sebuah refleksi penjajahan kolonial Belanda.Sebab, kata bentengan sendiri diambil dari kata benteng.Arti benteng itu sendiri ketika aku buka di salah satu kamus bahasa Indonesia, berarti ‘bangunan tempat berlindung (bertahan); dinding (tembok) untuk menahan serangan musuh’.Jadi, dalam permainan ini, peserta harus menjaga dan mempertahankan benteng dari serangan musuh.Tapi tidak pernah aku jumpai bahwa dari dua kelompok yang bertanding tersebut, menyatakan atau berunding terlebih dahulu dalam pemilahan mana yang menjadi lakon dan mana yang menjadi musuh.Yang aku ketahui, bahwa tiap-tiap pemeran permainan ini menganggap dirinya adalah lakon yang harus memenangkan pertandingan dari serangan musuh.
***
            “Besok lagi yo rek…”, ajak Bagus mengakhiri permainan bentengan sore itu.
            “Oyi oyi. Besok usai ngaji kutunggu di depan rumah”, tutur Selamet menanggapi Bagus sambil mengambil sandal japit yang talinya sudah putus akibat terjatuh saat lari dikejar Bagus dalam permainan itu.
            Dari dua kelompok di kampungku, yang terkenal sebagai pengendali bentengan adalah Bagus dan Selamet. Sebab, keduaanya memiliki kecepatan lari yang tidak bisa dikejar oleh teman-teman yang lain. Kalau menurutku, aku ini masih tergolong pelari yang sedang; tak terlalu lambat dan tak terlalu cepat.Jadi, saat aku lari untuk menghindari kejaran Selamet, saat itu pula Bagus harus keluar dari benteng untuk menolongkuketika aku menjadi kelompok Bagus.
            Pernah satu kali aku terjatuh karna didorong Selamet yang tak bisa ngerem kecepatan larinya, hingga akhirnya aku harus masuk selokan yang berisi air comberan.Aku marah.Bahkan hampir berantem andai saja saat itu aku tak dipisahkan oleh teman-temanku.Akhirnya, aku hanya bisa menangis, menggulungkan diri di atas tanah dan mengadu pada bapak.
***
            “Lama banget kamu Met! Kemana aja?” tanyaku kepada Selamet yang hampir setengah jam aku bersama teman-teman menunggunya di pertigaan kampung.
            “Sory sory… aku barusan di suruh Mbok untuk nimba air di sumur. Banyu ados ndek jedding omahku wes sat. Sepurane yo rek…”
            “Yo wes ayo suit disek” tanggap Bagus.
            Pembagian kelompok ini hanya dengan cara suit antar pemain. Yang kalah akan berkumpul dengan yang kalah. Dan yang menang harus bergabung dengan yang menang.Tapi, aku lebih sering menjadi teman kelompok Bagus dari pada kelompok Selamet.Yah, Cuma kebetulan saja.
            “Jo… aku tak keluar dulu yo? Nanti lek aku butuh bantuanmu, tulungono aku lho…”,Anis menawarkan diri untuk memancing musuh agar mengejarnya.
Di benteng Selamet, selain Selamet sendiri ada tiga teman yang lain, yaitu Faris, Siti dan Reni. Sedangkan di bentengku, selain ada aku, Bagus dan Anis, ada lagi Danu.Pemainnya ya Cuma delapan anak ini.Tak pernah lebih.Bahkan bisa kekurangan pemain jika salah seorang diantara mereka ada yang tidak hadir.
“Yowes budalo! Nanti tak susul.Ati-ati lho Nis…” jawabku.
“Eh Jo… pinjem sandale. Sandalku kate pedot”      
“Alah Nis… biasane kowe playon yo ora nganggu sandal kok”
“Iyo… tapi sekelku catu.Gara-gara wingi aku kesandung watu iku” tunjuk Anis pada batu sekepal tangan yang tepat berada di tengah-tengah antara bentengku dengan benteng Selamet.
“Hah… iyo yo.Ono watu.Wah, bahaya iki.Sek yo…”
“Heh rek!” teriakku pada teman-temanku yang sudah siap bertanding.“Aku bijim disek.Iki lho ono watu.Bahaya ini lek nyandungi sekel. Sek tak jebol disek”
Tiba-tiba saja teman-temanku berlarian menuju tempatku untuk mencabut batu yang telah melukai kaki kiri Anis kemaren sore.
“Wah… bahaya iki rek…” tutur Reni yang keheranan melihat batu itu.Dia tak menyangka kalau ternyata ada batu tajam diantara dua benteng itu.
“Waduh… iki kudu karo linggis rek.Koyoane watu iki gedde banget gitu loh” candaku pada teman-teman yang sudah tak sabar ingin memulai permainan ini.
“Bismillah… Bismillahirrahmanirrahim…! Allahu Akbar!!!” teriakku sambil mencabut batu yang ternyata besarnya hampir seperti kepalaku.Lebih besar dari yang aku duga sebelumnya yang kukira hanya sekepal tangan.
“Wow… gedde ne rek…” ucap Danu mengakhiri pencabutan itu.
“Ayo wes!!! Wes siap opo durung awakmu Ren!”, teriakku menggoda Reni.
“Ayo!!!”, jawab Reni sambil mengeluarkan lidahnya.
“Awas kowe Ren!” gumamku dalam hati.
Anis sudah lari-larian memancing agar salah seorang dari benteng Selamet dan kawan-kawannya ada yang keluar mengejar Anis. Begitu ada yang keluar, Anis kembali ke benteng dan aku akan mengejarnya. Begitulah seterusnya pertandingan itu berlangsung dengan serunya.
“Jo… Paijo! Kejar Siti!”, teriak Anis kegirangan.
Dengan cepat aku mengejar Siti. Kecepatanku pasti akan mengungguli kecepatan Siti. Tapi Siti tak mau kalah tak-tik.Dia lari mengelilingi kampung.Tidak langsung kembali ke bentengnya.Semangatku berkobar.Aku yakin bahwa Siti dapat kukejar dan harus kupegang salah satu anggota tubuhnya agar menjadi tawananku.Tapi betapa terkejutnya diriku saat melihat Faris mengejar dibelakangku.Aku harus cepat meraih Siti. Kakiku bagai mesin sepeda motor Honda. Semakin panas maka akan semakin kenceng. Tak ubahnya jaguar yang melihat mangsanya telah lumpuh di depan mata. Berlari dengan cepat agar mangsanya tidak kabur.
“Hayo! Mau lari kemana kau anak tupai!”, gertakku pada Siti yang kelelahan. Akhirnya aku bisa memegang tubuhnya.Siti menjadi tawananku.Tapi ada satu lagi yang membuatku harus kabur menjauhi Siti.Faris belum berhenti mengejarku.Dengan tenaga yang hampir ngedrop, kupertahankan langkah demi langkah agar aku bisa kembali ke benteng.Dengan segera aku mencari celah agar bisa selamat dari kejaran Faris. Ketika hampir mendekati benteng, aku berteriak; “Woi… tolong Aku!!!”.
Seketika itu pula Danu menyusulku.Akhirnya justru Faris yang tertangkap oleh kejaran Danu.Tapi sayang, Danu tak bisa mengelak dari kejaran Selamet yang super cepat itu.Bagus-pun terlambat mengejar Selamet.Danu harus mendekam menjadi tawanan ‘kolonial’ Selamet.Tapi aku, Bagus dan Anis tak putus asa.Sebab dibentengku masih tersisa tiga orang. Sedangkan di benteng sebrang sana hanya ada Selamet dan Reni.Siti dan Faris telah menjadi tawananku.
Anis kembali memancing musuh.Mendekati benteng Selamet sambil bersiul melantunkan lagu 17 Agustus.Selamet merasa terpancing untuk menangkap Anis yang duduk-duduk di bawah pohon beringin yang besar dekat benteng ‘raja’ Selamet.
“Merdeka!”Selamet berteriak sambil berlari dengan kecepatannya.Anis terkejut dan kabur menjauhi benteng Selamet.Bagus keluar dari benteng untuk mengejar Selamet.Mereka bertiga saling kejar-kejaran.Kini,diantara dua benteng hanya ada Aku dan Reni.
“Wah… ini kesempatan untuk menggoda Reni”, anganku menghardik pikiran.
“Serang!!!”, teriak Bagus dari kejauhan. “Selamet tertangkap!” teriaknya lagi.
Selamet terlihat lesu.Berjalan mendatangi bentengku dengan kekecewaan.Tak ubahnya tawanan perang yang kehabisan tenaga.Benteng ‘raja’ Selamet kehabisan pasukan.Aku, Bagus dan Anis mendekati benteng yang dijaga Reni dengan tingkah yang gelisah.Reni tak bisa keluar meninggalkan benteng.Dia harus bisa mengatur strategi agar bisa selamat dari ancaman pasukanku.
            “Menang lagi… Menang lagi… Menang lagi…”, kunyanyikan lagu itu di dekat Reni yang maju mundur untuk menangkapku. Dia tak berani meninggalkan bentengnya.Sebab bentengnya telah dikelilingi tiga pasukan ‘berani mati’.Aku, Bagus dan Anis semakin dekat.Reni semakin bingung.Kedua tangannya melebar.Mencegah kawanan pasukan. Seperti saat akan menangkap ayam.
            “Hayo!”, Bagus menggertak Reni yang mulai berkeringat. Dari bentengku, Selamet dan kedua temannya hanya bisa menyaksikan ‘kebiadaban’ pasukanku yang memberontak bentengnya.Mereka tak mampu berbuat apa-apa.
            “Merdeka! Merdeka! Merdeka!”, Anis berteriak sambil memegang benteng yang luput dari pandangan Reni. “Hore… Hore… Aku pahlawan…”, Anis bergembira sekali. Sepertinya memang baru pertama kali ini Anis bisa menjadi pahlawan yang mampu menghindar dari kejaran musuh dan dengan cerdasnya dapat menipu pandangan musuhnya.Pada permainan sebelumnya aku tak pernah melihat Anis menjadi pejuang sejati.Yang ada dan yang sering dialami Anis hanyalah menjalani permainan ‘bentengan’-nya sebagai tawanan.Tapi, kali ini dia telah menunjukkan jati dirinya.Akhirnya, permainan yang berjalan satu kali putaran itu dimenangkan oleh kelompokku.
            Senang rasanya bisa memenangkan permainan unik dan menyehatkan itu.Hampir tiap sore permainan itu menjadi hiasan kampungku.Dua benteng tiang penyangga balai desa yang belepotan dengan bekas-bekas tangan merupakan pemandangan yang bisa dilihat oleh siapapun saat melintas di depannya.Orang-orang kampung tidak memarahi aku dan teman-temanku hanya karna mengotori tiang penyangga bangunan balai desa itu.Hanya saja, ketika balai desa kampungku itu dicat ulang pada saat menjelang agustusan, aku dan teman-teman tak pernah absen untuk menolong orang-orang kampung. Begitu pula saat gotong royong jalanan kampung dan kerja bakti masal, aku bersama teman-temanku harus berada di barisan paling depan agar semangat tolong menolong berjalan lancar.
***
            Aku duduk di depan rumahku sambil menikmati teh hangat.Matahari di ujung barat masih terlihat dengan sinarnya yang kuning.Kutatap jalanan kampung yang telah berubah.Pohon-pohon besar telah tumbang digantikan bibit-bibit baru yang masih hijau. Tak terasa jika waktu telah menggulung usia. Dua puluh tahun yang lalu jalanan itu masih berupa tanah coklat yang akan berubah menjadi lumpur-lumpur licin saat hujan deras tiba.Jika sore menjelang, jalanan itu ramai oleh anak-anak kecil yang berlarian mengelilingi kampung. Itulah aku dan teman-temanku di usia ingusan.
            “Huh…”, kubuang nafas lewat mulutku. “Tak ada lagi anak-anak yang terhibur dengan permainan kampung itu” heranku dalam hati.Anak-anak zaman sekarang lebih suka mendekam di rumahnnya dari pada keluar rumah.Tak seperti masa kekanak-kanakanku yang merasa bosan bila terus-menerus tinggal di rumah.
            Aku, Paijo Purwanto, bersama istriku, Anis Rahayu mengenang masa lalu itu saat melihat anakku yang terhibur dengan game-nya di depan televisi. Anakku yang berusia enam tahun itu lebih memilih duduk di depan televisi dari pada bermain di luar rumah bersama teman-teman kampungnya. Tapi, sepertinya, memang tak pernah kulihat anak-anak kampung yang ramai di balai desa sejak sepuluh tahun yang lalu.Zaman telah berubah. Teknologi telah mempengaruhi cara berpikir manusia saat ini.Aku-pun sudah tak mendengar kata ‘bentengan’ itu sejak di bangku SMA.Entah kemana perginya.Padahal tak ada yang menginstruksikan pembubarannya.Tapi permainan ‘bentengan’ itu memang tak kulihat lagi di zaman yang gila ini. Bentengan sudah menjadi sejarah yang hanya akan diceritakan oleh sesepuh desa dan kawan-kawan seusiaku yang dulunya pernah menjadi aktor laga dalam permainan itu.
            Generasi itu telah lenyap.Kebersamaan semakin berkurang. Barang kali, jika diangan-angan di masa kecilku dulu, seandainya ada penjajah yang menyerang kampungku secara tiba-tiba, maka aku akan bersatu dengan teman-temanku untuk melawan bersama. Tapi, seandainya saat ini ada penjajah yang menyerang, mungkin generasi kecilku akan sembunyi di dalam rumah dan melawannya sendiri dari dalam rumah tanpa bantuan.
            “Bentengan… Oh bentengan”, puisi di depan istri tercintaku. Seandainya aku masih bisa mengumpulkan teman-temanku, aku akan menjahit kembali, sejarah kita, di kampung ini, yang telah ditelan masa.”

            Selesai diketik pada hari Ahadmalam Ahad tanggal 13 Juni 2010 pukul 05.32 WIB
            Kupersembahkan untuk teman-teman kampung Indonesia yang ingin memelihara budaya

Belum ada Komentar untuk "Bentengan "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel