Batupun Berbicara

“Dor…!!! Blem…!!! Duar…!!!” hanya itu yang kudengar sejak Israel dinyatakan berdiri sebagai negri yang didukung oleh Inggris dan sekutu. Ledakan bom, suara tembakan dan jeritan histeris menjadi makanan tiap hari yang tak bisa ditawar-tawar.Aku dan keluargaku hanya mampu berlindung di balik tembok rumah dengan rasa takut.Terkadang berubah menjadi isak tangis ketika melihat orang-orang di depan gedung apartemenku ditembaki tanpa rasa belas kasihan oleh pasukan bersenjata lengkap dan congkak yang telah dipengaruhi oleh racun racikan  Theodor Herzl.


“Sholeh!!! Jangan pergi! Mau kemana kau ini!?” Tanya Ibuku dengan nada keras ketika melihatku membuka pintu rumah di pagi dingin usai melaksanakan shalat subuh berjama’ah di rumah.
            “Aku akan pergi ke rumahnya Ustad Toha Ahmad Bu. Aku hendak membantu beliau yang sedang membangun benteng pertahanan di dekat masjid Nurul Anwar!!!” teriakku sambil lari menjauhi rumah.
            Sejak penjajahan berlangsung di negriku, para pemuda bersatu untuk melawan pasukan yang tak berotak dan tak berhati itu. Di negriku, sejak berumur lima tahun, anak-anak pejuang bangsa, telah diajari bagaimana menggunakan ketapel sebagai senjata perlawanan terakhir jika peluru tembakan sudah tak ada lagi. Bahkan, setiap dua bulan sekali ada perlombaan ketapel di depan masjid Baiturrahim yang terletak di pinggiran kota Darul Khuldi. Hampir tiap kali perlombaan yang hanya diikuti anak-anak remaja itu, aku selalu tampil menjuarai. Tak mengherankan jika aku ditunjuk oleh Ustad Toha untuk melatih anak-anak yang mengaji kepada beliau di masjid Nurul Anwar. Jumlah pasukan didikanku ada seratus dua puluh tiga yang rata-rata berumur 13-16 tahun. Hampir seluruh pasukan mudaku itu terdapat kecacatan fisik. Ada yang kehilangan kaki kirinya, ada yang telinganya putus, ada pula yang jari-jari tangannya terpotong habis. Tapi yang paling banyak diantara mereka adalah kehilangan sebelah mata. Dan semua kecacatan tersebut akibat perbuatan brutal tentara Zionis yang tak tahu malu itu.
            “Assalaamu ‘alaikum…”, sapaku kepada teman-temanku ketika berada di depan masjid Nurul Anwar. Mereka berkumpul dengan gelisah.Sepertinya telah terjadi sesuatu yang tak biasanya terjadi di pagi buta.
            “Wa ‘alaikum salam…”, jawab mereka serentak. Aziz bin Bakar tiba-tiba mendekatiku. Kulihat matanya merah. Sepertinya dia baru saja menangis. Nafasnya pun masih tersendat-sendat.
            “Ma waqa’a ya akhi? (apa yang terjadi wahai saudaraku?)”, tanyaku pada Aziz.
            “Ustad Toha… Ustad Toha… Ustad Toha… tertembak oleh pasukan Zionis biadab usai shalat subuh”, jawab Aziz sambil memelukku.
            “Ainal ân? (dimana beliau sekarang?)”
            “Ada di rumah Ustad Amir bin Uwais. Setelah ada suara tembakan di masjid, orang-orang kampung keluar rumah untuk mencari asal suara tembakan. Mereka terkejut ketika melihat Ustad Toha tergeletak sendirian di depan pintu masjid. Tubuh beliau berlumuran darah. Lengan tangan kiri beliau nyaris putus karna banyak peluru tembakan yang mengarah pada lengan beliau”
            “Kaifa hâluhul ân? (Bagaimana keadaan beliau sekarang?)” tanyaku kembali dengan nada penasaran. Bagaimanapun juga Ustad Toha adalah sosok yang takkan terlupakan oleh pemuda-pemuda Palestina. Beliaulah yang memimpin Intifadah (perlawanan yang hanya menggunakan batu dan ketapel sebagai senjata utama) pada tahun 1967 kemarin. Dengan semangat dan tak henti-hentinya meneriakkan kata ‘Allahu Akbar’ beliau telah berhasil memukul mundur pasukan Israel yang bersenjata lengkap. Setelah Intifadah itupun banyak pemuda Palestina yang ingin belajar agama kepada beliau. Tak hanya penggemblengan ilmu agama saja yang diberikan oleh Ustad Toha, tapi juga cara-cara berperang dan bagaimana menghadapi musuh. Itulah gambaran singkat Ustad Toha yang tak mau dipanggil dan dijuluki ‘Syekh’ meskipun ilmu dan umur beliau lebih pantas untuk menyandang ‘pangkat’ tersebut.
            “Ana ma afham kaifa haluhul ân. (aku tidak tahu bagaimana keadaan beliau saat ini). Tapi, kabar terakhir yang kutahu adalah beliau dalam kondisi kritis. Dokter Daniel dan dokter Smith sudah mencoba menolong Ustad Toha. Tapi darah yang keluar dari tubuh beliau terus mengalir. Semoga tidak terjadi apa-apa. Amin…”
***
            Tak lama setelah aku bercakap-cakap dengan Aziz dan teman-teman yang lain, dokter Daniel dan dokter Smith keluar dari rumah Ustad Amir. Syekh Syarifuddin mendekati kedua dokter asal Swiss itu. Selama ini, kedua dokter itulah yang sering menolong pejuang-pejuang tanah suci Palestina. Kedua dokter itu pula yang sering memberikan bantuan makanan dan obat-obatan sejak Palestina diblokade oleh Israel.
            “Kaifa hâlu akhi? Kaifa hâlu akhi? Kaifa hâlu akhi?”, Tanya Syekh penasaran.
            “Isbir ya Syekh… Isbir… Isbir!!! (bersabarlah wahai Syekh… bersabarlah… bersabarlah!!!)”, jawab dokter Smith dengan nada sedih sambil memegang pundak Syekh Syarifuddin.
            “Inilah kehendak Tuhan… kita harus bersabar dan menerimanya. Ustad Toha tak dapat kami tolong”, tutur Daniel yang mulai dikerumuni pemuda-pemuda yang tak sabar untuk mengetahui kedaan Ustad Toha.
            “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…”, suara tersebut terdengar serentak setelah dokter Daniel berhenti memberi kabar kepada para pemuda.
            Para pemuda berlarian menuju rumah Ustad Amir untuk melihat wajah terakhir sang pemimpin yang tak kenal kata mundur dan putus asa itu. Semangat beliau akan menjadi pengobar semangat perjuangan para pemuda bangsa. Sosok beliau juga akan menjadi sejarah yang terukir indah. Seperti halnya Sayyidina Umar bin Khattab yang menjadi kunci pertama untuk menguasai tanah suci Palestina. Seperti Shalahuddin al-Ayyubi yang dibangga-banggakan kawan dan disegani lawan. Dan seperti pejuang-pejuang lainnya yang menginginkan kemerdekaan untuk kedamaian rakyat Palestina.
            Ajal telah menjemput beliau. Sepertinya, panggilan malaikat Izrail telah beliau dengarkan sebelum nyawanya dicabut. Malam hari usai shalat Isya’ beliau memerintahkanku untuk pulang dan menjaga keluargaku di rumah. Tak seperti malam-malam sebelumnya, beliau ingin menyendiri di masjid. Padahal, hampir tiga tahun aku menemani beliau tiap malam dan tak pernah absen untuk mendengarkan cerita dan pengalaman pribadi beliau dalam berjuang. Tapi, entah mengapa, tiba-tiba beliau memerintahku agar pulang untuk malam ini saja. Dan ternyata, inilah yang terjadi. Ustad Toha Ahmad bin Yusuf bin Abdullah, cucu ulama’ besar Palestina yang rendah hati telah dipanggil ke pangkuan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. “Semoga darahnya yang mengalir menjadi saksi dihadapan Allah” do’aku dalam hati untuk beliau.
***
            Sebulan setelah kepergian Ustad Toha, pasukan Israel semakin gencar menyerbu sudut-sudut kota dan pedesaan. Hampir di setiap sudut kota dijaga ketat dengan alasan melindungi rakyat sipil. Padahal, pada kenyataannya, justru rakyat sipil itulah yang menjadi sasaran empuk mereka. Serangan paling konyol adalah kisah tetanggaku saat pergi ke toko untuk mengantarkan roti dagangannya. Segerombolan tentara mengahabisi tetanggaku itu dengan alasan penyelundupan senjata tajam. Untung saja nyawanya masih bisa diselamatkan. Padahal, yang dibawa hanyalah sekotak roti dan sebuah pisau pemotong roti yang ukurannya sangat kecil.
            Penyerangan tak masuk akal juga pernah dialami oleh adik sepupuku yang menyebabkan kehilangan kaki kirinya. Saat itu adikku bermain sepak bola di pinggiran jalan dekat dengan pos pasukan Israel. Tak sengaja bola yang ia tendang masuk di pos tersebut. Ketika adikku akan mengambil bola, tentara Israel menghardiknya. Adikku diperintah untuk telanjang bugil jika bolanya ingin kembali. Kontan saja adikku melawan. Tapi malang nasibnya. Salah satu tentara menembak kaki kirinya hingga meremukkan tulangnya.
            Sepertinya, Pasukan biadab itu bernafsu untuk menguasai tanah Palestina. Meskipun perlawanan dari rakyat sipil maupun serangan balik dari Hamas dan Fatah digencarkan kepada tentara bengis itu, mereka justru semakin berlomba-lomba untuk menembaki manusia tak berdosa. Perlawanan sengit terjadi berulang kali yang tak sedikit menewaskan pemuda Palestina. Entah kapan lagi perlawanan secara serempak akan terulang kembali.
***
            “Sholeh… Sholeh… Kau dipanggil Ust.Amir. Kau disuruh cepat-cepat mendatangi rumah beliau. Sekarang!” teriak Aziz memanggilku di depan rumah. Tak biasanya Aziz diperintahkan menjemputku. Pada hari-hari sebelumnya, sejak kepergian Ust.Toha, aku sudah biasa berangkat ke Masjid sebelum subuh. Tapi, kali ini, baru saja aku melaksanakan Shalat tahajjud, tiba-tiba suara itu mengagetkanku.
            “Ada apa wahai Aziz? Tak biasanya kau ini memanggilku di malam buta ini. Ada apa?”
            “Ust. Amir ingin berbicara empat mata denganmu di rumah beliau. Disana telah berkumpul ratusan pemuda”
            Dengan segera, aku berangkat bersama Aziz mendatangi rumah Ust. Amir. Sepertinya ada hal serius yang akan dibicarakan. Pagi ini tak seperti pagi-pagi sebelumnya. Kulihat langit sebelah barat memerah. Seperti ada kebakaran. Aku semakin mempercepat langkahku. Sesampai di rumah Ust. Amir, beliau menutup pintu rumahnya. Ternyata, sahabat-sahabat Almarhum Ust. Toha dari beberapa kota dan desa ada di dalam rumah beliau. Aku terkejut. “Ada apa ini?” tanyaku dalam hati.
            “Tadi malam, sekitar jam sebelas, pasukan Israel kembali bikin ulah di jalur Gaza. Kobaran api dari gedung-gedung masih terlihat. Lihat itu!” tutur Ust. Amir sambil menunjuk ke arah jendela rumahnya.
“Pengeboman melalui pesawat tempur sangat cepat. Pengeboman itu terjadi saat semua orang di jalur Gaza terlelap tidur” lanjut beliau untuk memulai perkumpulan yang sebelumnya tak pernah kuikuti. Ini adalah pertemuan pertama kali bagiku. Meskipun aku tak pernah mengikuti perkumpulan seperti dini hari ini, aku mengerti bahwa tujuan para pembesar yang hadir di tempat istimewa ini adalah untuk menyusun strategi penyerangan. Sebab aku sering mendengar cerita dan pengalaman Almarhum Ust.Toha saat beliau masih hidup. Dan tak heran jika beliau juga mengenalkan kepadaku strategi jitu untuk menyerang tentara Israel.
Saat musyawarah dibuka, aku hanya berdiam diri saja. Duduk bersila mendengarkan sesepuh yang memiliki pengalaman pribadi masing-masing dalam strategi penyerangan. Hampir satu jam acara itu berlangsung. Tiba-tiba saat acara itu akan berakhir, Ust. Amir memanggilku yang kemudian memperkenalkanku kepada pembesar yang berjumlah sekitar 40 orang.
“Inilah yang akan memimpin Intifadah kali ini. Namanya Sholeh. Dia ini merupakan murid kesayangan Almarhum Ust. Toha. Sholeh memiliki skil yang bagus untuk memimpin peyerangan di jalur Gaza bersama pemuda-pemuda lainnya”, Ust.Amir memperkenalkanku di depan pembesar itu sambil memegang pundakku. Aku hanya menunduk pasrah pada ucapan beliau. Aku tak dapat berbicara sepatahpun. Aku juga tak dapat menolak apa yang dikatakan Ust. Amir. Tiba-tiba keringat dingin bercucuran dari punggunggku.
“Sholeh, kau tak perlu khawatir dan takut akan keputusan ini. Ini adalah amanat bagimu. Kami juga bersamamu dalam penyerangan kali ini. Jadi, kau tidak sendirian” kata Ust. Amir yang telah melegakan ruang nafasku.
“Tapi, mengapa aku yang masih muda seperti ini yang Anda tunjuk wahai Ustadz?”
“Yah… meskipun kau tak pernah menjadi panglima perang, tapi kau memiliki jiwa pemimpin yang bisa mengobarkan semangat jiwa pasukanmu. Tenagamu masih sehat dari pada yang sudah sepuh-sepuh seperti yang kau lihat disini”
Setelah berbincang-bincang lama dengan para sesepuh dan mengatur strategi bersama pemuda-pemuda Palestina yang berjumlah sekitar 800 pasukan, aku pulang untuk memberi tahu Ayah dan Ibuku. Sekaligus minta restu dari kedua orang tuaku.
***
            Pukul lima pagi usai shalat Subuh aku berangkat secara terpisah bersama puluhan pemuda. Perjalanan terpisah dengan jalan kaki itu melewati lorong-lorong sempit kota agar tidak diketahui tentara Israel di pos-pos penjagaan. Batu-batu dalam tas telah disiapkan untuk melempari pasukan biadab itu. Ketapel-ketapel dengan segala ukuran dikalungkan di leher yang tertutupi oleh tebalnya jaket pasukanku. Seperti akan berperang. Tapi ini memang akan berperang. Taruhannya adalah nyawa.
            “Allahu Akbar!!!” teriakku sambil mengangkat tinggi ketepelku di hadapan pasukanku yang bersiap untuk meluncurkan bom-bom batu ke arah markas besar tentara Israel di jalur Gaza. Pasukanku juga ada yang memakai manjanik; ketapel berukuran besar yang harus ditancapkan di atas tanah dan ukuran batunya pun sebesar kepala manusia.
            Bom-bom batu itu meluncur bagai rudal. Serangan pagi dingin itu membuat panik pasukan Israel yang masih terlihat ngantuk dalam markasnya. Mereka terlihat kocar-kacir seperti  ayam yang dilempari petasan. Batu-batu itu meluncur bagai hujan di atas tenda-tenda biadab. Aku terus menerus memberikan kobaran semangat kepada pasukanku yang tak letih untuk mengendalikan ketapelnya.
            Tiba-tiba tank besar dari dalam pagar markas memuntahkan plurunya. “Blem… Duar!!!” Pluru itu mengarah kepada kelompok pasukanku. Barisan mulai berantakan. Pasukan ketapel mencari tempat perlindungan yang aman. Kini giliran pasukan bom molotov yang menyerang dengan botol-botol berisi bahan bakar minyak untuk melempari tenda-tenda dan tank-tank yang bergerak. Suasana semakin genting. Tentara-tentara Israel mulai aktif melakukan serangan balik. Pasukan pemuda palestina hanya bisa berlindung di balik tembok-tembok bangunan. Sesekali ada kesempatan, mereka akan mengendalikan ketapelnya dan melempari tentara dengan batu. Begitulah penyerangan itu berlangsung kali ini. Tak perbedaan dengan penyerangan dan perlawanan pada hari-hari sebelumnya. Pemuda Palestina hanya bersenjatakan batu yang harus melawan peluru-peluru panas yang dapat menembus jantung.
            Meskipun begitu, aku bersama pemuda Palestina, takkan gentar untuk menyingkirkan tentara biadab yang tak berhati itu dari negri tempat pemberangkatan Rasulullah untuk Mi’raj-nya. Negeri tempat lahirnya nabi Ibrahim as. Negeri suci yang harus dilindungi dari manusia sombong, congkak dan tak tahu adab seperti Israel. “Kami ingin hidup tentram damai di negeri ini tanpa jajahan. Jika tak mau pergi, kami akan mengusirmu walau darah harus mengalir dari tubuh kami” teriakku kepada pasukanku saat melihat peperangan berkecamuk dengan suara-suara muntahan peluru-peluru  dari tank-tank baja.
            Bagi kami, janji Syahid adalah janji mulia. Lebih baik mati dari pada hidup dijajah. Kami yakin bahwa kemenangan ada di pihak kami. Kebenaran akan menghapus kebatilan. Kebatilan takkan abadi. Israel akan lenyap di tangan kami; orang-orang Islam. Itulah janji Nabi Muhammad kepada umatnya. Meskipun hanya melawan dengan batu, kami takkan putus asa untuk memukul mundur pasukan biadab Israel. Sebab janji itu akan terbukti. Bahwa batupun akan berbicara untuk kemenangan kami. []

Belum ada Komentar untuk "Batupun Berbicara"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel