Singo Gendeng

Sore hari, Ahad 6 Februari 2011, ba’da ashar aku berangkat dari rumah menuju kampus hijau UIN Maulana Malik Ibrahim. Aku mengendarai motor supra X-ku yang bernomor N 4213 FH. Jalanan dari kota Kepanjen menuju Malang tak seramai seperti lawan arus jalanan dari Malang ke kota Panjen –sebutan singkat kecamatan Kepanjen yang mulai dipenuhi dengan bangunan-bangunan modern—sebab, sore itu klub sepak bola ternama di Indonesia; Arema akan tanding melawan Persipura di stadion Kanjuruhan yang terletak di kota Kepanjen tersebut.

Meskipun jalanan menuju Malang tak semacet lawan arus, tapi aku harus memperlambat perjalanan sore yang terang itu. Bus besar ada di depan motorku yang sulit kusalip dari samping kiri. Jalanan terlalu sempit. Sedangkan untuk menyalip dari samping kanan lebih rumit lagi karna ‘motor-motor liar’ dan mobil-mobil pick-up dari seporter Arema ‘memelototi’ semua yang ada di depannya sambil mengibar-ngibarkan bendera berlambang singa. Sesekali aku harus ngerem dadakan. Aku hanya dapat bersabar dengan kecepatan 40 km/second di belakang kepulan asap hitam bus itu.
            Baru setelah perjalanan sekitar lima kilometer dari pertemuan awalku dengan bus jurusan Banyuwangi itu, aku bisa menyalipnya denga lega. Entah, bus apa yang membuatku tak sabar untuk menyalipnya. Kalo gak salah sich… bus Harapan Jaya. Warnanya putih yang diselingi warna kuning dan sedikit ada warna merah diantara warna kuning itu.
            Sepanjang perjalanan, aku mencoba merenungi suporter Arema yang selalu tampak kompak dimanapun dan kapanpun. Para pendukung kesebelasan yang bernamakan Aremania ini seakan tak pernah layu ditelan masa. Dari tahun ke tahun, para pendukung semakin menampakkan kesetiaannya pada Arema yang memiliki julukan ‘Singo Edan’. Tak mengherankan jika Arema tak repot-repot mencari promosi iklan untuk pendanaannya. Cukup dengan uang masukan dari hasil pembelian tiket sporter, dana Arema mencukupi perjuangan tim sepak bola kesayangan kera-kera ngalam itu. (Iya tah? Masak sich? Ya… itu sich berita dari kawan-kawanku yang fanatik banget ama Arema. Kalo aku sendiri sich, aku tak terlalu tergiur dengan Arema. Bukannya aku tak bangga dengan Arema. Ya biasa-biasa aja lah. Jika Arema menang dan menjadi juara, aku ya turut senang. Dan jika kalah dalam pertandingan, aku ya gak sedih. Ya mungkin aku buka Aremania banget, toh meskipun aku punya dua kaos Arema. Hehe… J )
            Andai saja aku seperti Arema. Menjadi idola fans-fansnya tanpa mempromosikan diri di depan publik dan tak perlu repot-repot nyari kenalan, mungkin aku akan melebihi kepopuleran artis-artis ibu kota. Seperti halnya Irfan Bachdim, dengan modal ketampanan wajahnya yang bermain di klub sepak bola Persema Malang, akhirnya Irfan direkrut juga menjadi bintang iklan di Pocari Sweat. (wah-wah, pengen jadi artis nich kayaknya. Laguin aja tuch trek lagu dari Hancur Band; Tuhan,,, aku pengen jadi artis. Wkwkwk)
            Tapi apapun namanya, entah itu pangkat, jabatan, gelar, ataupun menjadi seorang artis, yang lebih mempengaruhi dampak dari semua itu adalah prosesnya. Di era globalisasi yang heboh ini, sudah banyak hal-hal yang instan. Segala sesuatu dapat digapai dengan cepat dan mudah. Ijazah contoh gampangnya. Mulai dari ijazah SD sampai gelar S1 dapat diganti dengan sejumlah uang. Tapi pertanyaan yang muncul kemudian adalah; Apakah dengan ijazah yang didapatkannya itu, seseorang akan memiliki kapasitas ilmu sebagaimana gelar atau pangkat yang disematkannya?
            (Woy!!! Apa-apaan ini? Apa hubungannya Arema, Singo Gendeng, Aremania, artis dengan pangkat dan jabatan? Apa-apaan sich ini? Kok ada juga globalisasi dan instan? Nyasar yach? Kok jauh amat lah pembahasannya? Seperti pesawat tujuan Mesir yang nyasar ke Jepang!)
            Ya itulah akibat terlalu semangat menulis. Apapun akan ditabrak. Semua yang ada dalam pikiran ingin ditumpahkan semuanya. Ya sama-lah seperti banteng atau sapi yang mengamuk. Keduanya akan memberontak semua yang ada di depannya. Begitu pula dengan menuliskan sesuatu. Tak memandang apapun yang diketikkannya. Asal-asal nulis aja. Kalo memang gak nyambung ya nanti juga bisa disambung-sambungin juga khan? Hehe…
            Kaitan antara Arema, Singo Gendeng, Aremania, artis, pangkat, jabatan, globalisasi dan instan, semua itu bisa dan sah-sah saja dikaitkan dan dihubung-hubungkan. Arema, takkan bisa hidup tanpa suporter Aremania. Singo Gendeng, itu hanya istilah dariku yang kubuat-buat untuk menggambarkan supporter Arema yang sepertinya emang ‘gendeng’. Istilah edan sudah populer bagi Aremania. Ya… bukannya aku mau mengganti slogan mereka. Ini hanya asumsiku saja. Mengapa kok gendeng? Ya gimana gak gendeng jika terkadang Aremania itu terlalu berlebihan ‘cinta’ pada Arema. Sampai-sampai wajah ganteng atau cantik berubah menjadi warna biru saat pertandingan berlangsung. Begitu pula dengan masalah keuangan. Aremania tidak hanya dicukupkan dengan membeli tiket saat pertandingan. Sebagian besar Aremania juga akan membeli atribut yang bikin heboh lapangan sepak bola. Entah itu terompet angin, boneka singa, bendera besar, petasan (Tapi sekarang sudah jarang. Takut ditangkap dadakan oleh polisi. Hehe) dan satu lagi yang tak boleh ditinggalkan; kaos Arema dengan bermacam model.
            Nah, semua itu juga tak lain adalah dampak globalisasi yang ingin meniru gaya-gaya suporter luar negeri. Tapi, Arema, akhir-akhir tahun ini juga tak bisa dipandang sebelah mata. Prestasinya yang pernah meraih piala ISL di tahun 2010 membuahkan semangat baru. Tak ayal jika kemudian suporternya semakin ‘gendeng’ saja dibuat pemandangan yang sangat istimewa bagi Aremania setelah menumbangkan Persija Jakarta dengan skor akhir 5-1 pada pertandingan final di stadion Glora Bung Karno.
            Setelah kemenangan itu, suporter tidak berhenti untuk mengaungkan taringnya yang tajam dihadapan publik. Perayaan kemenanganpun tak dapat dihindari. Jalanan kota Malang saat itu berubah menjadi aliran warna biru untuk menyambut Arema. Pemain kesebelasan Arema beserta pelatihnya; Robert, keliling kota Malang yang dikawal polisi. Dari Malang kota menuju stadion Kanjuruhan lalu menuju Kota Baru. Sebuah pemandangan yang sangat luar biasa. Seperti supporter Manchester United di Inggris dengan kaos merahnya yang membanjiri jalanan. Aku baru pertama kali melihat pemadangan ‘gendeng’ seperti ini.
            (Arema, Aremania, Singo Gendeng dan globalisasi udah dibahas. Nah, tinggal artis, pangkat, jabatan dan artis nich yang belum dibahas di atas?
            Oke. Aku akan memulai dari instan. Semua orang pasti tau dimana tulisan instan banyak ditemukan. Hemmm… tentu di bungkus mie rebus khan? ‘Mie Instan’, begitulah nama yang terpampang di tiap bungkus mie itu. Instan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Ugh… pasti dech ngambil di KBBI! Yah mau gimana lagi. Lha wong itu sudah harga mati dan menjadi rujukan kok. Wek…), adalah langsung (tanpa dimasak lama) dapat diminum atau dimakan. Itu arti secara harfiahnya. Kalo sekarang dikaitkan dengan dengan artis, jabatan dan pangkat, maka hal itu hanyalah menekankan pada proses peraihan label artis, jabatan atau pangkat tersebut.
            Kalo menurutku sich cuma ada dua model untuk meraih ketiganya itu. Ya… instan itulah diantara metode yang dipakai untuk meraihnya. Dengan artian bahwa untuk menjadi artis, memiliki pangkat dan meraih jabatan itu dapat diraih dengan cepat dan mudah. Cepat dan mudahnya itu dapat dilihat dari jumlah uang yang dimiliki seseorang untuk meraup semua itu. Ya, hanya dengan uanglah apapun dapat dimiliki di era ‘gendeng’ ini.
            Sedangkan cara yang kedua untuk meraih ketiganya itu adalah cara murni yang bertahap (Toh walaupun dalam prosesnya tetap meluangkan uang). Yaitu peraihan yang memang benar-benar dari hasil usaha keras seseorang. Tidak mengandalkan kekayaan sedikitipun untuk meraihnya, toh sebenarnya dia kaya.
            Dari kedua metode ini, tentu sangat ada perbedaan yang mencolok. Selain dari pengalaman hidup, perbedaan itu juga dapat dilihat dari sisi ilmu-ilmu baru yang tentunya banyak dimiliki oleh seseorang yang lama berproses untuk meraihnya. Sedangkan orang yang meraih dengan cara instan, maka hasil instan itulah yang dimilikinya. Tanpa pengalaman dari orang lain maupun dari apa yang akan dimumpuninya. Entah, di dunia artis, infotainment, politik, organisasi, bahkan mungkin juga dalam bermasyarakat.
            Nah, dari pemaparan di atas, jika dikaitkan dengan ‘Singo Gendeng’ yang telah kuasumsikan, maka akan dapat ditarik pemahaman bahwa untuk menjadi klub besar seperti Arema yang juga memiliki suporter terbanyak di Indonesia dan pernah meraih penghargaan suporter terbaik pula, tidaklah mudah. Tidak dapat diraih dalam waktu sejam, sehari, sebulan bahkan setahun. Bahkan untuk menorehkan sejarah yang mengagumkan bagi warga kota dingin Malang ini, membutuhkan pergantian generasi dari masa ke masa.
            Demikian pula bagi diriku ini jika ingin meraih segala impian. Tak bisa diraih dalam waktu yang singkat. Jika impianku ingin menjadi penulis, apakah kucukupkan saja dengan copy-paste tulisan yang tersebar di internet lalu kubukukan dengan mengannggapnya karyaku sendiri? Atau membayar seseorang untuk membuatkanku karya tulis yang bisa menjadi best seller? Ah… mudah dan gampang saja bagiku untuk melakukan hal itu. Tapi yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah pantaskah aku yang memimpikan hal itu, melakukan tindakan yang tak sepatutnya dilakukan? Mana tanggung jawab sebagai seorang yang pernah mempelajari etika? Apakah dengan cara itu impian akan dapat diraih dengan sempurna? Tentu jawabannya sudah dapat dikira-kira bukan?
            Untuk itulah dengan ketekunan, dengan berproses dan dengan bertawakkal kepada Tuhan yang telah memberi nikmat dan rahmat-lah, selayaknya bagi yang ingin mengejar impian, memikirkan ribuan kali untuk menghasilkan hasil terbaik tanpa mengenyampingkan campur tangan Tuhan. Demikian juga dengan Arema yang sepatutnya pula tidak melupakan pertolongan Tuhan Yang Maha Penyayang, yang telah menjadikannya tim kesebelasan terfavorit di Indonesia. Toh, ‘gendeng’ bagiku adalah istilah lain dari ‘edan’ tapi maknanya sama. Sama-sama memiliki suporter yang kompak. “Salam satu jiwa”[roy]
              
            Al-Faroby, Rabu 9 Februari 2011, pukul 07.28 Pagi  

Belum ada Komentar untuk "Singo Gendeng"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel