Santri Tempe

Sejak aku nyantri di pesantren, aku mengenal banyak istilah yang bermunculan di kalangan santri. Baik  itu istilah dari bahasa kitab kuning maupun istilah dari bahasa teman yang tak sebahasa, tak se-suku dan tak satu daerah pula. Dari pengenalan istilah dan pengetahuan baru itu, ada banyak hal yang kuketahui tentang istilah-istilah yang populer di kalangan mereka yang lain suku dan yang tidak populer atau bahasa yang biasa dipakai dikalangan mereka.

Namun, teman-temanku lebih suka mengeluarkan kata-kata kotor yang populer dikalangan mereka masing-masing ketimbang memakai kata-kata yang halus. Toh tidak semuanya, tapi setidaknya, dari segelintir teman juga akan mempengaruhi keidentitasan pribadi daerahnya. Surabaya, misalnya, kata ‘Jancok’ sudah menjadi kebiasaan kalangan mudanya. Jadi, jika ada seorang teman sebaya dipanggil: ‘Cok!’ tidak akan marah. Sebab hal itu sudah wajar dan lumrah bagi mereka. Beda halnya jika kata ‘Jancok’ itu terdengar oleh orang Solo atau daerah senasib dengan Solo, yang daerahnya masih banyak orang yang menggunakan bahasa Jawa halus atau yang diistilahkan dengan ‘boso’, maka orang yang berkata ‘cok’ itu akan diklaim sebagai orang yang urakan, tak punya sopan santun, tak berakhlak dan berbagai macam anggapan yang tak nyaman. Hal itu disebabkan karna kata ‘Jancok’ adalah kata yang sangat kotor bagi komunitas mereka.
            Sebenarnya sich kata ‘Jancok’ itu sudah populer di daerah Jawa, bahkan juga sudah dikenal pula di luar Jawa. Nah, untuk daerah Malang sendiri, kata ‘Jancok’ bagi kalangan remaja,menurutku sih, sudah hampir mengakar. Tapi tak separah kalangan remaja Surabaya yang bukan hanya menjadi akar, tapi telah menjadi batang pohon. Jika di Surabaya sudah dianggap wajar, maka di Malang, masih ada sekat pelabelan anak nakal bagi yang mengucapkannya. Tapi, apakah kemudian remaja Surabaya itu akan dianggap anak nakal seluruhnya? Tentunya tidak, namun berhubung sudah menjadi tradisi di kalangan mereka, maka hal itu, sekali lagi, dianggap wajar-wajar saja.
            Selain ‘Jancok’, di Jawa ada istilah ‘Asu’ yang berarti ‘Anjing’. Ada lagi ‘Celeh’ untuk Jawa tulen. Di pulau garam Madura, kata ‘Patek’ adalah kata-kata kotor yang memiliki arti ‘Anjing’. Sedangkan kata ‘Anjing’ sendiri, sering dipakai oleh remaja Bandung, Jakarta atau daerah-daerah yang di dominasi oleh ‘etnis’ yang dari sejak lahir memang berbahasa Indonesia. Tiap-tiap tempat memiliki istilah sendiri untuk mengungkapkan kata-kata yang kebanyakan akan bermunculan saat amarah tak lagi terbendung. Di Lampung, ada kata-kata ‘Sek’, ‘Kampang’ dan ‘Selot’ untuk istilah yang serumpun dan sebangsa dengan ‘Jancok’, ‘Asu’, ‘Celeh’, dan masih banyak istilah lain yang tak kuketahui.
            (Wah wah… ini tulisan kok ngajari yang gak bener sih? Tulisan kayak gini kok dipublikasikan. Khan juga dapat menurunkan derajat masing-masing daerah yang disebutkan di atas lho. Hati-hati lho, bisa jadi penulis akan menjadi bualan berbagai kalangan karna telah mempublikasikan tulisan ini. Tapi, bagiku ya biasa-biasa aja. Lha wong tujuannya tidak menghina kalangan manapun. Bahkan itu juga sudah menjadi fakta di lapangan kok. Khan aku hanya ingin menuliskan apa yang ingin diungkapkan oleh pikiran saja. Hehe…)
            Dari semua istilah yang tertulis di atas, ada beberapa yang kupelesetkan dan sering kuungkapkan pula, bahkan sampai ditiru oleh teman-temanku. Semisal kata ‘Pacol’. Kata itu sering kupakai memanggil teman-temanku. Baik teman kelas maupun teman kamar. Kalo ditelusuri, kata ‘Pacol’ itu adalah plesetan dari ‘Patek’. Namun, plesetan ‘Pacol’ itu tidak menjadikan orang yang mendengarnya merasa terhina. Bagi temen-temenku sendiri, mungkin akan memaknai istilah itu sebagai alat petani untuk ‘mengatur’ sawah atau ladangnya. Sebab, makna ‘Pacol’ sendiri bagi orang Jawa adalah sama dengan ‘Cangkul’ (bahasa Indonesianya) yang berarti alat untuk menggali dan mengaduk tanah, dibuat dari lempeng besi dan diberi tangkai panjang untuk pegangan (dalam KBBI; Kamus Besar Bahasa Indonesia).
            Mungkin karna seringnya memakai ungkapan-ungkapan yang tak wajar, maka, ketika aku membuat istilah-istilah baru, aku akan menjadi tontonan yang diperhatikan dengan sedikit ada rasa humor. Ungkapan ‘Omplonk’ pernah juga menjadi salah satu plesetan yang sering kugunakan memanggil teman atau juga ngledekin temanku. “Ow… dasar omplonk!!”, ledekku suatu saat kepada seorang teman.
            Ya umumnya sich istilah plesetan itu muncul di daerah asal ungkapan itu berlaku. Seperti ‘Pacol’, tentunya di daerah Madura. Ada lagi ‘Asem’ yang sering dipakai keturunan Jawa. ‘Asem’ merupakan plesetan dari ‘Asu’. ‘Kampret’ juga pernah kugunakan juga sebagai plesetan dari ‘Kampang’. Istilah ‘Kampret’ lebih sering kugunakan saat tinggal di Lampung.
            Tapi, kalo ditelurusi lebih lanjut, tiap-tiap kata pasti memiliki kata plesetan. ‘Anjing’ pun diplesetkan menjadi ‘Anjrit’ agar terlalu kasar untuk mengungkapkan kata ‘Anjing’. Tentunya, orang yang dipanggil dengan ‘Anjing’ akan merasa sangat terhina, sebab orang yang dipanggil dengan kata ‘Anjing’ tersebut, tak ubahnya penyamaan bahwa dirinya disamakan dengan binatang yang menjijikkan dan najis itu. Begitu pula dengan ‘Jancok’ yang kadang ada yang memelesetkan dengan ungkapan ‘Jangkrik’ atau ada sebagian yang lain memakai ‘Jambu’. Semua itu tergantung kebiasaan penggunaannya.
            Selain ungkapan yang telah disebutkan di atas, ada lagi istilah lain yang sampai saat ini masih sering disemarakkan dalam sehari-hari dan terkadang juga ditiru oleh sebagian temanku. Yaitu kata ‘Tempe’. Entah mengapa ungkapan itu kugunakan. Lebih-lebih jika amarah meletus dan ingin menjeritkan sebuah kata yang melegakan dada, maka ‘Tempe’ lebih sering keluar dari bibirku ketimbang ungkapan yang lain. Padahal kalo dilihat dari artinya, ‘Tempe’ sebagaimana yang dideskripsikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah makanan untuk lauk nasi, dibuat dari kedelai yang diberi ragi. ‘Tempe’ pun bermacam-macam. Ada ‘Tempe Benguk’ yang dibuat dari biji kara benguk yang sebetulnya beracun. Entah seperti apa tempe ini. Yang jelas keterangan ini terdapat dalam KBBI. Ada ‘Tempe Bongkrek’ yang dibuat dari ampas kacang dan ampas kelapa (setelah diambil minyaknya). ‘Tempe Bungkil’, terbuat dari bungkil kacang tanah yang telah diperas kandungan minyaknya. ‘Tempe Gembus’ terbuat dari ampas kelapa kedelai. ‘Tempe Jagung’ terbuat lembaga biji jagung. ‘Tempe Kacang’ terbuat dari bungkil kacang. ‘Tempe Lamtoro’ terbuat dari biji kemlandingan atau lamtoro yang cukup tua, tetapi yang masih segar. Dan yang terakhir adalah ‘Tempe Turi’ yang terbuat dari biji turi tua dan sudah kering. (KBBI)
Apapun makanannya, tempe lauknya...
            Sampai saat ini, aku masih bingung kenapa aku gunakan istilah itu. Apakah karna aku tak ingin mengungkapkan kata-kata kotor? Apakah ada filosofinya dibalik ungkapan itu? Menurutku pribadi sich, mungkin, salah faktor utama mengapa kugunakan kata ‘Tempe’ untuk meluapkan jerit hati dan kadang juga kugunakan untuk memanggil seorang teman adalah karna aku tak ingin menggunakan kata-kata kotor. Sedangkan untuk masalah flilosofinya sich kayaknya gak ada dech. Kalo pun dibuat-buat ya sah-sah saja.
            Kalo mau difilosofiskan, aku akan menggambarkan ‘Tempe’ sebagai salah satu lauk terfavorit di Indonesia. Betul gak? Makanya, apapun makanannya, ‘Tempe’ tetap menjadi lauk yang pas untuk segala makanan dan sayuran yang ada. Mau pakek sambal tomat, ‘Tempe’ akan menunjukkan eksistensinya yang lezat. Apalagi kalo digoreng agak sedikit gosong kemudian dicampur dengan sambal lalapan, wuih… lezatnya minta ampun dan bakal dijamin ketagihan. Tidak hanya itu saja, ‘Tempe’ juga cocok dan pas jika mau dicampur-adukkan dengan rujak. Sayur kacang panjang, tahu, ‘Tempe dan dibumbui dengan santan, lebih mantap kayaknya. Pokok enaklah dibikin apa aja. Yang makan juga gak bakalan bosen kalo tiap hari disuguhi lauk ‘Tempe’. Betul gak?
            Hem… kalo dikaitkan seperti itu, jika memakai teori sebab akibat dan teori dalam ilmu mantik, maka ‘Santri Tempe’ akan disimpulkan sebagai sosok yang bisa digunakan dimanapun dan kapanpun yang berarti bermanfaat. (Chieee… sok suit atau kata seorang teman perempuanku mengatakan ‘Lebay banget sich kamu tuch’). Seperti air gitulah gambarannya. Bisa ditempatkan dimanapun. Di gunung, hutan, selokan, gelas, kendi, botol, gentong, bak air mandi dan lain-lainnya, air tetaplah air yang bisa dimanfaatkan. Tapi, apakah begitu yah dengan kepribadianku yang seperti ini? Yah itu sih orang lain yang menilainya. Aku hanya bisa dan mampu melakukan apa yang dapat kuperbuat untuk diri sendiri lebih-lebih untuk orang lain yang membutuhkanku. Dalam sebuah hadis kan diterangkan yang artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi yang lain”. So, bermanfaatlah untuk yang lainnya. Seperti ‘Tempe’ yang bisa dinikmati tiap hari. Berusaha menjadi ‘Santri Tempe’ yang bermanfaat untuk teman, kawan, sahabat, dan ………..(Ehm… siapa tuch?).[roy]

            Kepanjen, Ahad 13 Februari 2011 di ruang tamu rumah. Jam 16:27 WIB

Belum ada Komentar untuk "Santri Tempe"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel