Kasurku Perpusku

Jika Nabi Muhammad saw. pernah bersabda yang artinya adalah: “Rumahku adalah surgaku”, maka, aku sebagai salah satu umatnya –dan semoga memang benar-benar diakui sebagai umatnya. Amin…—juga akan membikin pernyataan baru; ‘Kasurku Perpusku’. (Keren khan? Tapi, masak kasur mau dibikin perpustakaan? Emang mau tidur di atas tumpukan buku gitu maksudnya? Ah ngarang! Masak buku mau dijadikan kasur yang kemudian dianggap perpustakaan?

Aku menganggap kasurku sebagai perpusku karna aku sering, bahkan memang sudah menjadi kebiasaanku meletakkan buku-bukuku di atas kasur. Kasur atau ranjang yang berarti tempat tidur bagiku tak ubahnya perpustakaan. Tapi terkadang, buku yang ada dan berserakan di atas kasurku hanyalah sebagai pengantar tidur. Hehe… Meskipun begitu, lebih baiklah dari pada hanya digunakan untuk mengistirahatkan badan saja, toh sejatinya kasur adalah untuk tidur.
            Kalo ditelusuri secara historis atau kacamata sejarah masa laluku, aku memang sudah lama terbiasa menggelatakkan buku-buku di atas kasur. Baik itu di kasur rumah maupun di asrama. Sebab, selain menjadi tempat yang nyaman dan enak untuk membaca, kasur juga diharapkan bisa menjadi sebuah harapan untuk memimpikan seorang penulis sebuah buku yang hadir lalu memberikan penjelasan dan ilmu-ilmu yang dimilikinya lewat mimpi itu. Yah agak dimirip-miripkanlah dengan kisah orang-orang terdahulu yang pernah mendapat ilmu yang berlimpah ruah hanya karna mimpi belajar kepada seorang guru. (Glodak!! Grusak!! Dor dor dor!! Trat tat tat tat tat… Chiiiiiiiiitt Duor!!  Berkhayal yah Bunk!! Awas jatuh lho kalo berkhayal!! Hehe…)
            Tapi, kalo di rumah, aku akan merubah dari ‘kasur’ menjadi ‘kamar’. Jadinya adalah ‘Kamarku Perpusku’. Di rumahku, kamar tidurku sudah kusetting ruangannya seperti perpus mini. Layaknya ilmuwan yang memiliki ruangan perpustakaan pribadi yang lengkap dengan almari khusus buku yang nempel di tembok.(Halah… iya tah?). Begitu pula dengan ruangan kamar sempitku yang panjang dan lebarnya kira-kira 4x4 meter. Sempit dan lembab, seperti itulah gambarannya. Tapi tetap nyaman untuk merebahkan badan atau nyemil koleksi-koleksi bukuku yang sudah melebihi dari seratus judul buku dan kitab klasik.
            Lain halnya dengan kamar asramaku yang lebar dan panjangnya kayaknya empat kali lipat dari pada kamarku di rumah. Selain beda lebar dan panjangnya, suasananya pun juga jauh lebih berbeda dengan kamarku di rumah. Apalagi kalo diperinci dengan tata letak kasurku yang juga berbeda dengan tata letak kasur teman-teman kamarku. Kasurku lebih nyaman karna dekat dengan jendela kamar yang bisa melihat pemandangan yang indah di luar jendela itu. Jika sore hari,tanpa rintikan air hujan, pemandangan indah dari gunung Arjuna di sebelah utara kota Malang, akan terlihat jelas. Terkadang aku memotretnya dengan kamera HP-ku. Di lain waktu aku berkhayal; “Andai saja aku dapat mendaki gunung itu”.
            Selain pemandangan itu, di daratan bawah terlihat sawah hijau yang subur. Pernah juga melihat bagaimana petani itu sedang menggarap sawah dengan bantuan kerbaunya. Terlihat juga perumahan kos-kosan yang terkadang nampak seorang mahasiswi sedang menjemur bajunya di lantai dua kos-kosannya itu. Semuanya itu terlihat dari jendela kamarku yang berada di lantai dua asramaku yang mewah. (Hem… Kamar yang mewah beneran kah? Mewah merupakan singkatan dari ‘Mepet Sawah’… wkwkwkw….)
            Itu baru permandangan di sore hari. Kalo malam hari, bintang-bintang yang berkedip di langit yang hitam pekat akan tampak lebih indah jika tak bersamaan dengan rintikan hujan. Belum lagi kalo pertengahan bulan Hijriyah, bulan yang bundar dengan sinar terangnya akan menyapa separuh bumi dengan ke-purnamaan-nya yang sangat mengagumkan. Sungguh Maha Sempurna Tuhan Yang telah memciptakannya. (Suit-suit… sok sastrawan deh… hehe)
            Itulah kasurku yang selain menjadi perpusku, mungkin juga akan disebut sebagai ‘taman rekreasi’ yang selalu memiliki udara yang sejuk. Ya, toh sebenernya nilai bacaku akhir-akhir ini menurun, tapi masih mendinglah mau menyapa buku-buku yang telah kubeli itu. Sepertinya aku lebih suka membaca HP dari pada membaca buku yang lebih sering tergeletak di atas kasur bersepreikan warna biru telur bebek yang sampai saat ini tak pernah dicuci sama sekali. (Kasihan yah buku-bukunya. Mungkin, jika buku-buku itu memiliki mulut, dia akan berkata: “Hay anak cucu Adam! Mengapa kau ingin sekali memilikiku saat pertama kali melihatku? Tapi ketika aku telah berada di sampingmu,kau sering tak acuhkan diriku ini!)
“Dah gak dibaca! Seprei kasur gak pernah dicuci! Begitu pula dengan bantalnya yang gak pernah dijemur dan kurung bantalnya yang juga tak pernah dicuci! Ah… dasar jorok!”, sesekali hal itu kujeritkan dalam hati agar prihatin dengan nasib kasurku itu. Tapi meskipun bau dan terlihat kotor, tetap saja kasur itu adalah kasurku selama aku tinggal di asrma UIN. Kata temanku saat lagi ngobrol, biaya untuk asrama ini saja dua jutaan untuk dua smester atau satu tahun. Mahal khan? Sangat disayangkan jika fasilitas semahal itu tak digunakan dengan sebaik-baiknya. Tak mengherankan jika sebagian temanku ada yang menghabiskan biaya listrik dengan main PS, ada yang bawa pemanas air dengan sembunyi-sembunyi. Seandainya boleh membawa rice coker dari rumah atau membelinya di toko, mungkin tiap kamar pasti ada rice coker-nya. Tapi tidak. Peraturan telah menyatakan agar mahasiswa tidak membawa alat penanak nasi itu. Jangankan ­rice coker, bawa setrika saja dirampas oleh pengurus asrama, apalagi sejenis pemanas air. Lebih-lebih rice coker yang terkadang menyedot listrik sampai 250 watt.
Semua itu atas dasar asumsi dengan teori untung rugi dengan kacamata pendek. Atau anggap saja dengan cara pandang negatif. Tapi, kalo memakai kacamata positif yang plus,plus dan plus, maka mahasiswa yang tinggal di asrama itu tidak akan menyia-nyiakan tempat megah dan mewah itu sebagai ladang untuk meraup banyak ilmu. Waktu yang berlalu akan digunakan sebaik mungkin hanya untuk satu tujuan; menuntut ilmu. Itu saja. Nah, tipe dan model yang kedua inilah yang kuharapkan. Tapi sepertinya tipe yang kedua ini hanya kuterapkan di masa-masa awal aku tinggal di asrama ini. Rajin, tekun, mengikuti semua kegiatan di asrama, seolah menjadi kebiasaanku yang tak kalah indah di masa perdana itu. Saat itu, aku hanya bisa berharap agar bisa istiqomah. Namun, kebelakang hari, bahkan sampai saat ini, nilai-nilai kerajinan dan ketekunanku itu mrosot jauh dari pada nilai di awal-awalku. Mungkin kalo dikalkulasikan, aku dapat nilai 40 dari nilai seratus yang pernah kudapatkan di masa adaptasi di asrama yang memiliki lima bangunan megah ini.
Perjalananku saat ini bagai perahu layar di tengah ganasnya ombak besar yang mampu menenggelamkan segala jenis perahu; sedang berjuang untuk bangkit dan bertahan hidup. Seperti halnya orang menjahit yang sedang menyulam benang-benang untuk menjadikan satu potong baju yang bagus. Jika tak sabar, maka tak akan menjadi sepotong baju bagus dengan harga yang mahal. Jika tak bisa bertahan di tengah gelombang ombak yang tinggi, maka akan tenggelam, kemudian akan menghilang dan pada akhirnya tak kembali untuk selamanya.
‘Kasurku Perpusku’, aku hanya bisa berharap agar aku mampu mengembalikan jati diriku yang terlampau jauh dari relnya. Aku ingin menjadikan kasurku itu sebagai istana untuk menyantap ilmu dari buku dan kitab yang kumiliki. Jika Habiburrahman dengan Ayat-ayat Cintanya telah membuat pernyataan bahwa penjara di bawah tanah pun bisa menjadi universitas yang mencetak ilmuwan-ilmuwan besar, maka aku juga akan bikin pernyataan pula bahwa: “Kasurpun juga dapat mencetak ilmuwan” (Ah… ada –ada saja)[roy]

Al-Faroby Kamis, 17 Februari 2011 pukul 09.25 WIB

Belum ada Komentar untuk "Kasurku Perpusku"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel