Mahasiswa Ngalem: Sebuah Catatan tentang Mahasiswa Manja

Berawal dari kekecewaanku terhadap teman-temanku sejurusan yang tak mau menindak-lanjuti pesanan bukunya. Teman-teman sejurusanku dari tiga kelas A, B, dan C terhitung sekitar 60 lebih yang memesan buku dengan harga yang relatif murah. Buku yang kukordinir kali ini adalah Fiqh Lughah yang ditulis oleh dosen yang mengajarkan mata kuliah Ilmu Lughah, Ustadz Uril Bahruddin, di jurusanku.



Dari beliaulah buku yang kukordinir itu menjadi murah dengan harga dua puluh ribu rupiah. 50% lebih murah dibanding harga aslinya, empat puluh ribu rupiah. Dari murah meriahnya buku itulah kemudian teman-teman sejurusanku berbondong-bondong untuk memesannya hingga aku harus kembali dua kali ke percetakan UIN Press untuk memesan dan mengambil kepada petugas percetakan.
Namun, amat disayangkan, setelah berlelah payah membawa tumpukan buku yang tak kurang dari 5 kilogram, hanya beberapa orang saja yang mau mengambilnya setelah kuumumkan untuk segera diambil.

Puncak kejengkelanku terhadap teman-teman yang tidak segera mengambil buku pesanan, meledak kemarin siang, (Senin 24 Oktober 2011), usai mengerjakan soal Ujian Tengah Semester (UTS). Alis mata kanan dan kiriku hampir menyatu karna keningku mengkerutkan dengan penuh kobaran api kemarahan: sebagai tanda aku tak suka dengan adegan semacam itu. Mulutku tiada henti komat-kamit menyumpah-serapahi teman-teman sejurusanku. “Asem! Udah difasilitasi, malah ngalem”. Sesekali aku smsi temanku dengan kata-kata kekecewaan.

Entah, apa sebenarnya yang dipikirkan mahasiswa indonesia saat ini yang sepertinya sudah harus serba mewah dan instan. Apa mereka tak pernah memikirkan masa lalu ya? Sebuah masa yang informasi serba terbatas, alat komunikasi hampir seribu banding satu, dan keilmuan sulit untuk diraih, namun dengan semangat yang membara, para pemuda dan pemudi masa lalu sangat antusias baik dalam waktu, alat, dan keilmuan itu sendiri. Ironis!

Aku tak ingin marah kepada teman-temanku yang emang takkan mungkin cukup hanya dimarahi. Sebab, mereka sudah besar dan sudah dewasa serta mandiri. Lebih mudah dan merasa nyaman mengatur anak-anak ingusan di bangku TK dari pada menggerakkan mahasiswa saat ini. Aku hanya ingin menyadarkan mereka agar tak terlalu terlena dengan kemewahannya. Pun aku yang hanya mengendalikan mereka lewat sms, bukan berarti juga nyaman, tapi aku harus merasakan beban pikiran.

Semoga yang membaca catatan ini, jika memang mahasiswa dari jurusan manapun, kampus manapun, apalagi dari teman-teman jurusanku yang kebetulan terkena legitimasi isi catatan ini, menjadi lebih prihatin dengan nasib mahasiswa saat ini. Tiada maksud untuk menyindir, mengklaim, memvonis, atau apapun itu namanya. Aku pun mengakui tentang keberadaanku yang juga manusia yang ada salah lupanya. Jika aku ada salah kurang dan lupa, aku juga berharap ada yang mau mengingatkanku. Aku hadir bukan sebagai malaikat. Aku juga manusia biasa seperti para pembaca, tapi aku ingin merekam semua peristiwa hidupku meskipun amat sulit, bahkan mustahil.

Mengakhiri catatan ini, aku teringat sebuah kritikan ‘pedas’ dari salah seorang aktivis Islam saat aku menanti teman-temanku di masjid Ulul Albab untuk membagikan buku Psikologi Pendidikan. Dengan suara halus dan lembut seseorang tersebut mengatakan padaku “Saya pernah mengetahui keterangan hadis shahih bahwa jika ada seseorang yang membicarakan masalah dunia di masjid, maka dia akan merugi”. Dikiranya aku sedang melakukan transaksi jual beli buku di masjid tersebut. Ah… paling tidak aku telah disadarkannya. [roy]

M. Roihan Rikza, selesai diketik pada hari Selasa 8 November 2011. Pukul 08.43 WIB. “Ada-ada saja warna-warni hidup ini. Warnai hidup! Jangan hidup diwarnai!”

Belum ada Komentar untuk "Mahasiswa Ngalem: Sebuah Catatan tentang Mahasiswa Manja"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel