Ilmu dan Kaum Intelektual

Sama halnya dengan cinta, ilmu juga memiliki latar belakang perjuangan untuk meraihnya. Namun, perbedaan sangat nampak tatkala yang diperbincangkan adalah target dari keduanya. Sebab, dalam percintaan, target dari perjuangannya adalah meraih apa yang diinginkannya. Yaitu kekasih yang juga menyatakan bahwa dirinya juga mencintai. Sedangkan ilmu tak memiliki target khusus.


Semakin tampak bahwa seseorang yang mencari ilmu akan dekat pintu target dan kemudian membukanya, maka dia akan menemukan keluasan ilmu yang tak bertepi dan tak memiliki batas di balik pintu yang dilbukanya tersebut. Dengan demikian obyek dari ilmu itu sendiri adalah ketidak terbatasan dalam meraihnya. Yang mampu menyadari hal ini adalah orang-orang yang memahami bahwa dirinya adalah makhluk lemah yang memiliki keterbatasan untuk meraihnya.
Untuk kaum intelektual sendiri, tak ubahnya seseorang yang dilanda asmara dahsyat yang takkan terlepas dari pahit manisnya perjuangan. Bahwa arti dari perjungan itu sendiri tidak memiliki batas untuk berhenti. Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan tuntutan umat Islam dalam mencari ilmu, Nabi Muhammad saw. bersabda bahwa menuntut ilmu itu dimulai sejak dari kelahiran sampai menuju kematian. Dengan demikian hidup ini takkan pernah sepi dari hiruk pikuk mencari ilmu.
Namun demikian, tak semua orang akan menjadi dan tergolong intelektual. Sebab, manusia itu beragam. Jika dipaksakan agar semua yang lahir harus menjadi kaum intelektual di masa mendatang, lalu siapa yang akan menanam padi di sawah kalau bukan petani? Siapa yang akan mengendalikan pesawat kalau bukan pilot? Siapa yang akan mengamankan negara jika bukan tentara atau polisi? Masing-masing telah memiliki tugas berbeda yang saling melengkapi. Itulah uniknya manusia.
Tapi, tanggung jawab sangat besar diemban oleh kaum intelektual. Bagaimana tidak jika seluruh waktunya harus diperas untuk mengabdi pada keilmuan yang tak terbatas tersebut. Tiap hari harus membaca, membaca, dan membaca. Melakukan penelitian, observasi, mengumpulkan data, dan memecahkan masalah dengan mengerahkan pikirannya. Dalam Islam kaum intelektual disebut sebagai Ulama’ yang didasarkan pada hadis Nabi “Ulama’ adalah pewaris para Nabi” yang berarti menjadi media untuk mentransfer ilmu kepada umat. Lebih-lebih ilmu agama.
Ilmu, menurut Hujjatul Islam Imam Ghazali ada dua macam. Pertama, ilmu agama yang hukum menuntutnya adalah fadhu ‘ain. Yakni, masing-masing manusia (umat Islam) dituntut untuk mempelajarinya. Sebab, menurut hemat penulis, ilmu agama yang dimaksudkan disini adalah sebagai sarana perbekalan untuk melanjutkan kehidupan di akhirat kelak. Bagaimanapun, kehidupan di dunia ini hanyalah sementara.
Kedua, ilmu umum atau ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan keduniawian. Dalam hal ini, menuntutnya adalah fardhu kifayah. Dengan artian, jika sudah ada salah seorang yang bisa atau ahli dalam satu komunitas masyarakat, maka lainnya gugur untuk mempelajarinya. Semisal seorang dokter yang memang dituntut untuk mempelajari teori kedokteran. Jika saja ilmu kedokteran harus dipelajari oleh seleuruh warga kampung, apa gunanya mendirikan puskesmas. Maka, dengan demikian, ilmu kedokteran menjadi ilmu yang fardhu kifayah dalam mempelajarinya.
Antara ilmu dan intelektual sangatlah berkaitan erat. Ilmu bagi seorang intelek adalah hal yang tak dapat dipisahkan. Sedangkan ilmu takkan melekat pada seseorang pun yang tidak mencarinya. Seseorang bisa dikatakan intelek jika telah membaca, mengkaji, mempelajari, --dan kemungkinan untuk mengamalkan dari apa yang telah dipelajari—berbagai wawasan keilmuan, baik klasik maupun modern.
Bagi penulis, yang selama mengusik pikiran adalah ketidak mampuan menutupi kegundahan untuk selalu membaca semua karya tulis yang ada, baik pada “kitab kuning” lebih-lebih “kitab putih” yang lebih mudah dibaca. Inginnya tangan adalah menggapai bulan purnama, tapi tak sampai jua. Cita dalam hati adalah membaca seluruh karya tulis yang bertebaran, namun halangan, rintangan, cobaan dan ujian tiada hentinya menggoda.
Sebenarnya, jika saja mau merenenungi, amat malu diri ini kepada kaum intelektual terdahulu atau juga para pemikir, sastrwan, cendekiawan masa sekarang yang masa mudanya dihabiskan untuk menimba ilmu dengan serius. Umur tak disia-siakan untuk mengabdikan diri kepada pencarian ilmu yang sama sekali tidak akan bosan dan lelah untuk mencarinya. Tak hanya berhenti disitu saja, ilmu juga harus diamalkan sebagai upaya pembuahannya. Sebagaimana telah dikenal dalam pepatah yang artianya “Ilmu yang tak diamalkan bagai pohon tak berbuah”. Buah yang dimaksudkan disini tidak hanya untuk diamalkan secara pribadi. Sangatlah bermanfaat jika ilmu juga disebarkan kepada manusia lainnya yang tentunya tidak akan berkurang sama sekali dari si pemilik ilmu.
Bagaimana tidak harus menutup muka –dan memang seharusnya menutup muka—jika nyatanya Jalaludddin as-Suyuthi, salah satu penulis dari dua penulis tafsir Jalalayn, mampu mengarang “kitab kuning” lebih dari 500 karya yang aku sendiri pun sampai umurku mengetik ini belum memiliki satu karya: satu buku. Barang tentu untuk menjadi golongan intelektual haruslah memiliki ilmu. Maka tak ada yang dapat dipungkiri jika yang menjadi ukuran produtif seseorang dalam memanfaatkan ilmunya lewat tulisan adalah kapasitas ilmunya. Wallahu ‘alam bish shawab. [roy]
M. Roihan Rikza, selesai diketik pada hari Selasa, 14 Februari 2012. Pukul 08.12 WIB. “Saat tenggorakan haus oleh dinginnya air di padang pasir. Begitu pun dengan hati yang berkarat, perlu dibersihkan. Demikian pula dengan otak yang semakin dangkal saja!”

Belum ada Komentar untuk "Ilmu dan Kaum Intelektual"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel