Menelisik Sekilas Gerakan Islam di Kampus

Terlalu banyak yang akan dikaji, ditelaah, dibaca, dan diteliti sedetail mungkin tentang perkembangan Islam di Indonesia—lebih kecilnya lagi di dunia perkuliahan— saat ini. Banyaknya aliran, sekte, lembaga, organisasi dan gerakan Islam membuat kepala ini pusing untuk memulai dari yang mana untuk mengkajinya. Tapi, jika ditanyakan kepada seorang Abdurraham Wahid (Gus Dur) –jika saja beliau masih hidup atau barang kali akan diadakan kontak oleh Argawi Kandito[1]-- barang tentu pernyataan yang akan dilontarkan dari beliau adalah: “Gak usah dipikir Islam yang mana. Cukup Islam tanpa embel-embel saja. Gitu aja kok repot”.


Fundamental, radikal, liberal, literal, plural, kiri, kanan, moderat, modernis, dan masih banyak istilah lainnya yang disematkan kepada Islam yang sejatinya hanyalah Islam tanpa embel-embel; tanpa gelar dan tanpa istilah. Namun, karna tuntutan zaman yang lebih suka dengan mengembel-embeli sebuah nama, akhirnya Islam juga terkena percikan arus perkembangan zaman itu sendiri.
Di kampus tempatku kuliah; UIN Maliki Malang, pintu kebebasan untuk seluruh lembaga, komunitas dan organisasi (selanjutnya akan digunakan kata ‘gerakan’ sebagai kata ganti dari tiga wadah yang telah disebutkan)  ekstra terbuka lebar. Mulai dari yang fundamental sampai yang ke-kiri-kiri-an turut menyemarakkan pintu demokrasi. Tapi, aku hanya membatasi untuk kalangan Islam saja. Selain itu (selain gerakan Islam), ya memang ada, namun tak begitu memiliki perhatian yang lebih. Kalaupun ada, tidak akan bermain dipermukaan publik atau dengan kata lain menjadi gerakan bawah tanah, karna keterbatasan yang terkadang menjadi problematika yang urgen.
HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul ‘Ulama), LDK (Lembaga Dakwah Kampus, KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) adalah gerakan ekstra kampus yang sampai saat ini masih hidup dan berkembang di tengah arus globalisasi yang cenderung memainkan peran masing-masing mahasiswa untuk bersikap egois dan hedonis.
Itu baru nama-nama gerakan ekstra yang kuketahui, cukup populer dan banyak masuk ke kampus-kampus yang notabene-nya adalah kampus Islamis. Belum lagi dari alumnus-alumnus pesantren yang juga mendirikan gerakan ekstra kampus yang juga memiliki peran untuk mengambangkan pola pemikiran generasi Islam di kampus.
Sebagai catatan yang subjektif, aku hanya memiliki impian untuk mengetahui sejarah, sepak terjang, pola pemikiran, visi, dan misinya masing-masing gerakan Islam yang berakar di kampus. Tentu hal itu tidak hanya sekedar untuk pembekalan diri dalam meraup pengetahuan gerakan keagamaan. Tapi juga sebagai upaya untuk mencari titik temu hakikat kebenaran masing-masing gerakan. Dan tentunya amat rumit sekali menemukan titik terang kebenaran masing-masing kelompok. Bagaimanapun juga, berbagai macam gerakan tentunya memiliki cita-cita yang baik. Itu adalah hal yang absolut untuk dikumandangkan. Tak mungkin suatu komunitas berdiri untuk merembukkan keburukan[2].
Itulah yang melatar belakangi tulisanku kali ini. Bukan berarti penulis ini meragu-ragukan kebenaran Islam. Sama sekali tidak. Islam yang berarti pasrah dan tunduk bukan berarti menerima apa adanya. Sebab, manusia masih diberi keistimewaan berikhtiar untuk melakukan segala sesuatu dengan pikiran semampunya. Inilah yang menjadi keistimewaan manusia yang berbeda dengan makhluk lainnya. Dalam hal ini sebuah kisah yang patut dicontoh adalah kisah nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang masih belum ‘puas’ dengan kekuasaan Allah hingga Allah saw. menanyakan kepada nabi Ibrahim apakah dirinya masih ragu-ragu atas kekuasaan Allah. Namun nabi Ibrahim menjawab “(Bahkan) Aku tidak ragu-ragu sama sekali, malainkan agar hatiku lebih tenang”. (QS. Al-Baqarah [02]: 260). Wallahu ‘alam bish shawab. [roy]

M. Roihan Rikza, selesai diketik pada hari Selasa, 10 Januari 2012. Pukul 19.02 WIB. “Tatkala gelisah untuk mencari kebenaran diselingi dengan berbagai macam wacana, tak ada yang patut diperjuangkan selain belajar, belajar, dan belajar. Karna belajar tidak mengenal waktu”.


[1] Argawi Kandito adalah penulis buku Ngobrol dengan Gus Dur Dari Alam kubur yang terbit tahun 2010. Buku tersebut berisi tentang obrolan-obrolannya dengan Gus Dur. Entah seperti apa cara yang diapakainya untuk berbicara dengan orang-orang yang sudah meninggal dunia. Yang jelas, Argawi Kandito memiliki keistimewaan khusus dari pada manusia umumnya.

[2] Penulis teringat dengan salah satu hadis yang menyatakan bahwa suatu kaum tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Dengan demikian, berdirinya organisasi, gerakan ataupun lembaga sekecil apapun, tentu memiliki tujuan yang baik. Namun, sejalan dengan perguliran sejarah, tujuan yang baik terkadang terhambat, bahkan berbenturan dengan perilaku pengendara yang kurang baik. Akhirnya, klaim tidak baik-pun akan dimunculkan kepada satu organisasi, gerakan maupun lembaga yang bersangkutan dengan pelakunya.

Belum ada Komentar untuk "Menelisik Sekilas Gerakan Islam di Kampus"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel