Negeri 5 Menara; Nostalgia dan Pengenalan Dunia Pesantren (Hanya Sebuah Catatan)

Pada Senin malam, hari ke-5 peluncuran film Negeri 5 Menara karya A. Fuadi, aku memiliki kesempatan untuk menontonnya di bioskop Mandala. Aku menontonnya sendirian ditengah-tengah puluhan orang-orang yang tak kukenali. Mereka yang menonton, termasuk diriku, menikmati film berdurasi hampir dua jam yang baru diluncurkan sejak tanggal 1 Maret.



Film tersebut membuatku teringat dunia pesantren yang hampir 3 tahun kutinggalkan. Hiruk pikuk dunia pesantren modern yang tidak saja mengajarkan ilmu diniyah –layaknya pesantren tradisional atau yang lebih akrab dengan sebutan pesantren salaf— tapi juga pengembangan ilmu pengetahuan sebagai bentuk apresiasi terhadap perubahan zaman, ditampilkan dengan gaya sederhana namun sarat makna.

Alif, sebagai tokoh utama, menjadi backround perjalanan seorang santri perantauan yang pada mulanya tidak ingin mengetahui seluk beluk pesantren dan cenderung mengikuti arus formalitas dan globalisasi. Ini merupakan gambaran yang sudah wajar digandrungi pesantren manapun yang santrinya memang rata-rata adalah perantauan atau setidaknya luar kota dan minimalnya adalah pendatang dari kampung sebelah.
Penataan skenario aktifitas pesantren sangat mengagumkan. Persis seperti kegiatan pesantren pada umumnya. Tentu, film ini akan menjadi semacam pemutaran kenangan bagi para alumninya. Apalagi pesantren yang namanya dirubah menjadi “Madani” itu adalah salah satu pesantren ternama di Indonesia. Khas pesantren yang sudah populer ini adalah kemodernan. Sebutan Pondok Gontor lebih sering terdengar telinga dari pada nama asli pondok pesantren itu sendiri: Darus Salam.

Sisi lain dari penulis catatan ini yang berlatar belakang pesantren tradisional atau salaf, tentu terletak pada perbandingan-perbandingan nyata. Sejak pertama kali melihat pakaian yang dikenakan para santri di pesantren Madani, tentu hati ini hanya tertawa kecil sambil mengingat-ingat kembali serpihan kenangan di pesantren. Jika di pondok Madani, para santrinya memakai pakaian polos berwarna orange dan celana hitam tanpa peci, saat sekolah, maka di pesantrenku, santrinya mengenakan seragam sarung warna hijau, baju takwa dan kopyah putih. Perbedaan itu sangat unik.

Yang menjadikanku lebih terkesan dengan film yang menceritakan kisah persahabatan 6 santri yang memiliki cita-cita menjadi orang besar adalah pada sosok Alif yang menjadi seorang jurnalis pesantren. Hobinya, menulis, mengantarkannya pada cita-cita yang telah disepakati bersama di bawah menara dekat masjid Madani bersama 5 sahabat lainnya. Keinginannya untuk menjadi seorang fotografer juga telah membuka jalan baginya untuk mengenali sosok cantik keponakan kyainya.

Tak kalah seru dari peran Basho sebagai santri yang tekun dan rajin. “Man Jadda wa Jada” menjadi semacam obat bius yang memilik efek samping semangat yang menggebu. Namun, sayang, Basho tidak memiliki kesempatan lebih lama tinggal di pesantren dari pada ke lima temannya yang mampu merampungkan perjalanan di pesantrennya dengan prestasi drama terbaik di masanya.

Basho harus pulang kampung karna neneknya sakit keras. Dalam adegan ini, penonton sudah dapat membaca alur cerita yang terlalu menyinetron. Tapi , toh tak sedikit yang terharu dengan alur cerita yang sudah menjadi makanan tiap malam dalam adegan-adegan ‘lebay’ di acara televisi bertajuk sinetron semacam “Putri Yang Tertukar”.

Selain kedua tokoh (Alif dan Basho), ada pula tokoh yang turut menjadi motivator. Namun, keduanya lebih dominan dalam penokohan. Apresiasi untuk film ini, menurut penulis, lebih dominan ancungan jempol pada rekayasa dunia pesantren. Namun, sayang seribu sayang –dan ini yang juga komentar beberapa teman yang sudah menontonnya—bahwa ending dari film ini cukup mengecewakan. Semacam ada adegan yang terhapus, meskipun pada realitanya memang tak diputar.

Namun demikian, karya sejelek apapun yang telah dipublikasikan, akan terasa lebih baik dari pada memiliki karya, akan tetapi hanya tersimpan dan cenderung dinikmati diri sendiri. Wallahu a’lam. [roy]
M. Roihan Rikza, selesai diketik pada hari Selasa, 10 April 2012. Pukul 13.25 WIB “Setelah bulan tersingkap, masih saja ada kenangan itu. Saatnya untuk ditampilkan!”

Belum ada Komentar untuk "Negeri 5 Menara; Nostalgia dan Pengenalan Dunia Pesantren (Hanya Sebuah Catatan)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel