Setahun Usia Pernikahan; Surat Untuk Seorang Istri

Selamat Pagi… Selamat Bahagia…
Begitu kataku pada beberapa pagi yang tak terlalu sering dan juga tak jarang aku menyapamu, ketika kamu baru saja terbangun dari tidurmu. Harapannya, hari yang bakal kita lewati itu memang hari yang membahagiakan. Demikian seterusnya sapa beberapa pagiku kepadamu. Kamu hanya tersenyum. 

Tapi pagi kali ini akan lain cerita. Pagi ini, kamu akan membaca sebuah catatanku tentang setahun usia wedding atau pernikahan kita. Sebagaimana kamu sering meminta: “Mana? Aku kok ndak dibikinin tulisan seperti kamu menuliskan buat teman-teman kamu?” Kuakui ini tulisan perdana dariku, sayang, kepadamu. Bukan aku tak sempat atau apalah yang tidak menuliskan sesuatu tentangmu.

Aku lebih memilih tulisan khusus, bahkan jika saatnya tiba, aku juga ingin me-novel-kan kisah hidup kita yang serba min-plus. Gurau sana gurau sini, marah sana marah sini, nangis sana nangis sini, ketawa ini dan itu, dan masih banyak hal lain yang kiranya dapat menjadi sepenggal kisah dan menjadi bahan bacaan bagi orang lain. Semoga saja kamu ndak kapok menemaniku, ketika aku menulis, apa pun itu.
Dek (Adik) demikian aku memanggilmu manja…

Hari ini dan tanggal ini, merupakan usia genap pernikahan kita. Dimana kita menikah pada tanggal 1 Juni, tahun lalu, kita telah menggelar sebuah ritual suci yang disaksikan puluhan mata. Sebuah ritual yang seringkali mengundang haru biru. Tangis sedu bahagia jadi satu. Itulah ritual akad nikah sebagai bukti seorang lelaki diperbolehkan hidup tanpa jarak dengan seorang perempuan, yang sebelumnya tidak memiliki hubungan darah apapun. Beberapa waktu berselang sebelum pernikahan itu. Aku tidak tahu betul siapa dirimu, apa kegemaranmu, apa kecenderunganmu, apa kamu juga suka baca buku? Apa kamu suka menulis? Apa kamu suka berpetualangan? Sebagaimana diriku yang tak pernah kapok untuk mengarungi segala tantangan. Semua itu telah terjawab pada perjalanan setahun ini. Setidaknya, apa yang menjadi tantangan hidup, baru benar-benar terasa ketika aku mengarunginya bersamamu yang sama sekali tidak aku kenali sebelumnya.
Ada keraguan, apakah tidak ada pertentangan hidup? Pertentangan prinsip? Gesekan keinginan yang hampir selalu bersebrangan? Ah, semua itu toh memang lika-liku hidup yang mesti dijalani. Bukan untuk diperdebatkan. Orang yang sudah nikah pun juga mafhum kalau hidup memang tak selalu sebanding lurus dengan ‘kenyamanan-kenyamanan’ yang ada dibenak dan hanya sebatas angan saja.

Tapi, hal yang demikian itu, justru menjadi bumbu-bumbu penyedap, bahwa betapa uniknya perjalanan kita dalam setahun ini. Dimulai dari cara kita saling mengakrabkan diri, seolah kita ini bagai sepasang pemuda-pemudi tingkat SMA yang sedang mencari cara agar perkenalan kita berjalan mulus. Pada saat kita menghibur diri di taman Slecta, Kota Batu, kita merasa menjadi orang asing di kampung sendiri. Bahkan berfoto pun terlihat betapa canggung dan kakunya diriku berada di dekatmu yang sejatinya adalah ‘tulung rusukku’ yang lama menghilang itu. Seolah, aku ini orang lain di matamu, dan kamu pun orang liyan yang aneh untuk aku dekap dengan mesra dan penuh kasih sayang. Sedangkan kamu adalah halal bagiku.
Persembahan Nafkah Dariku

Bulan awal perjalanan kita, bulan Ramadhan, tidak tahu mau mencari nafkah dimana dan mau apa. Spontan saja aku putuskan untuk berjualan kembang api di depan rumah. Kebetulan anak-anak ngaji juga belum libur. Sudah cukup lumayan kalau ternyata sudah ada objek konsumennya. Bersamamu, sedari sore hari hingga malam usai shalat tarawih, aku menjaga dagangan yang menghibur mata itu.
Hingga puncaknya, malam takbiran, aku melihat senyummu melebar. Pertanda kebahagiaan di matamu tak dapat dibohongi. Bagaimana tidak jika ternyata kembang api yang kita jual itu hampir ludes? Tak ayal jika pada malam takbiran hampir tengah malam, aku membelikanmu sepasang sandal, untuk lebaran keesokan harinya. Itu pertama kalinya aku membelikanmu sandal. Bukan seperti kisah cindirella yang kehilangan sebelah sepatu kacanya. Berbelit-belit mencarikan pasangan lainnya.

Pada bulan-bulan berikutnya. Saat berjualan tahu nugget. Dari pagi hingga malam hari, hampir saja waktu yang kita habiskan adalah untuk usaha, usaha, dan usaha. Pagi di dapur menyiapkan butiran-butiran tahu, siang menyiapkan tepung, dan baru sore hingga malam hari dioprasikan. Tapi perjalanan dagang tahu itu hanya sekitar 4 bulan. Setidaknya, ada pengalaman perjuangan kita berdua.
Memasuki tahap perampungan skripsi yang hampir membuatku stres yang sebenarnya sudah tidak mau aku urus. Tapi apalah daya jika kamu yang meminta agar merampungkannya, walau tidak akan tahu akan jadi apa nantinya dengan gelar itu. Kamu setia menemaniku hingga tengah malam. Terkadang kamu yang bergantian mengetik dan juga terkadang kamu yang mengeja, sedang aku yang mengetik. Akhirnya skripsi dan gelar rampung juga. Itu berkat kesabaranmu juga Dik.

Ketika aku nekat kembali menjadi wartawan di Jawa Pos Radar Malang, hanya agar terlihat memiliki pekerjaan, betapa melelahkannya hidup seperti itu. Dari Kepanjen ke Kota Batu yang perjalannya hampir memakan waktu satu jam setengah, belum mencari berita, kembali ke kantor dari jam 3 sore hingga jam 8 malam untuk mengetik dan memperbaiki tulisan, adalah kegiatan pasti bagiku, waktu itu. Jika nekat pulang, terkadang jam 11 malam baru sampai di rumah. Terlihat kamu terbangun dari tidurmu saat kuketuk pintu. Terkadang juga kamu masih menantiku di depan televisi. Ini hidup kok berat? Tanyaku dalam batin.
Bagaimana tidak? Dulu sebelum nikah, ketika aku menjadi jurnalis di perusahaan yang sama, tidak sepayah kali ini. Mungkin memang sudah beda orientasi. Jadi pertimbangannya bukan sekedar idealisme seorang jurnalis, tapi juga soal perut dan keluarga. Hanya setengah bulan aku menjadi ‘jurnalis kelinci’ di Batu. Usai itu, aku hengkang begitu saja. Setidaknya, pengalaman demi pengalaman itulah yang akan menjadi pondasi hidup yang lebih kuat nantinya.  Setelah membaca catatan di atas, kok hanya masalah perekonomian yang dibahas ya? Memang, perekonomian keluarga secara dhohir memang penting dan tak bisa lepaskan. Yang lebih penting lagi, kita hanya perlu menyadari bahwa semua itu hanya sebagai salah satu alat atau perantara dari tujuan nikah itu sendiri, yaitu ibadah. Bukan begitu Dik?

Baiklah. Mari kita coba bahas perkara lain. Heeeem… Seperti apa, aku juga bingung memilih dan memilahnya. Diantara yang unik barang kali adalah ketika kita pergi kondangan ke nikahan War’i, salah seorang teman karibku, di Sidoarjo. Kita sadar kalau kita lagi dilanda krisis, tapi kita nekat berangkat. Pagi-pagi buta kita berangkat. Di tengah perjalanan, karena perut belum terisi, kita berhenti di salah satu warung di daerah Singosari. Kita berhemat sehemat-hematnya. Pesan dua nasi rawon dan satu gelas teh hangat untuk kita minum berdua. Ya, segelas berdua. Begitu mau membayar, kita lihat isi dompet. Menghitung uang recehan seribu dan dua ribuan. Diperkirakanlah harga masing-masing menu itu. Sekalipun ternyata cukup untuk membayar apa yang kita makan dan menghitung pula untuk uang bensin, kita tertawa terpingkal-pingkal. “Kok ada ya orang macam mas?” katamu. “Ya ada. Aku ini. hehe” tanggapku.
Perjalanan kemudian dilanjutkan. Begitu sampai di Pandaan, aku berhenti di salah satu ATM, cek saldo, barangkali ada uang yang bisa diambil. Ternyata saldo tidak cukup untuk ditarik. Mau minta transferan, sepertinya tidak mungkin semenit dua menit terkirim, sedangkan kita lagi butuh untuk keperluan perjalanan ‘aneh’ dengan niat yang baik kali ini. Begitu sampai di rumah resepsi, kita malah datang lebih dahulu. Padahal, waktu itu, War’i meminta kita untuk mengiringinya. Dari pengantin putra. Tapi kita malah terjebak di pengantin putri. Sekalipun tidak ada yang memahami kondisi kita waktu itu, kita sok-sokan enjoy. Padahal dalam hati ingin tertawa.

Usai dari kondangan di War’i, lalu kita pergi ke rumah Nouval. Takziyah. Ibunya baru saja meninggal. Rencana ke rumah Nouval sudah matang. Tapi karena persiapannya yang kurang, akhirnya kita gelagapan di jalan. Tidak membawa apa-apa untuk Nouval. Masak iya kita mau memberikan kue dari kondangan War’i? Ya tidak mungkinlah. Meraba-raba kembali alam pikiran agar kiranya dapat solusi. Kita mencoba masuk ke Indomart yang melayani jual-beli menggunakan kartu ATM. Sebelum mengambil barang yang akan dibeli, aku bertanya dulu pada pegawainya apakah bisa membayar pakek kartu ATM. Berlagak seperti bos. Padahal memang lagi kepepet. Ternyata bisa. Aku membeli gula untuk Nouval dan membeli sebotol minuman pelepas dahaga. Lagi-lagi kita tertawa di depan Indomart yang berada di Kota Pasuruan. Akhirnya kita bisa mengunjungi rumah Kaji Unyu itu.

Itu mungkin salah satu diantara kisah yang mungkin akan selalu mengundang tawa ketika kita mengingatnya. Kisah lain lagi? Banyaklah pokoknya. Satu lagi. Baiklah. Satu lagi yang unik ya. Itu, tentang kunjungan kita ke dalem Kai Faiqurrahman (Kai Zabur) di Banjarejo, pada hari Raya Idul Fitri.
Sore hari ketika kita sampai di dalem Kai Zabur yang mana aku dulunya mondok disitu, hanya kita berdua tamunya. Beberapa menit kita ngobrol dengan Kai dan Bu Nyai, tak lama kemudian ada beberapa tamu lagi yang kuperkirakan adalah santriwati di pondok itu. Mereka masuk ruang tamu dengan menunduk. Berjalan pelan dengan penuh kehati-hatian. Ketika mereka duduk manis, mereka menunduk dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Kai dengan nada yang amat sopan lagi pelan. Saat mereka mencicipi kue yang disediakan, mereka memakannya dengan pelan. “Itulah santri. Perhatikan mereka itu,” kataku.
Sedangkan tingkahmu lain. Kamu mengangkat tinggi wajah dan gaya duduk yang berbeda dengan mereka. Saat kamu mengambil dan memakan kue dari toples yang ada di atas meja, caramu berbeda dengan mereka. Aku maklumi itu. Bukan bermaksud untuk membeda-bedakan. Lalu kamu terheran-heran melihat tingkah mereka. Aneh bagimu. Tapi itulah dunia santri saat bertemu dengan Sang Guru. Perlahan kamu belajar mengenai itu. Yang awalnya kamu grusa-grusu, kini perlahan menjadi setengah santri, entah siapa Kyainya. Haha… Setidaknya kamu kenal dengan kawasan semacam itu, sekalipun tidak pernah hidup di lingkungan ke-santri-an dengan segala tetek bengeknya.

Dik… terlalu panjang aku menuliskan ini…
Kuakhiri sajalah apa yang aku catatkan disini. Mungkin nantinya memang cocok jika dijadikan semacam otobiografi atau sedikit dipoles dengan imajinasi yang melandai yang akan dijadikan cerpen atau novel. Itu keinginanku. Semoga saja ya.
Lalu, intinya? Tidak ada inti. Ambil saja yang tersirat dari yang tersurat ini. Catatan hanyalah catatan belaka, jika tidak mengambil apa-apa yang tersirat. Bahwa perjalanan kita masih jauh dan tidak akan pernah kita temukan arti dari kesempurnaan, kecuali kita mampu melalui proses-proses kecil yang serba njimet. Setahun berlalu tinggal kenangan. Saat ini, yang sedang kita lalui, adalah proses pertentangan dan tantangan yang kudu kita jalani. Sedangkan esok adalah harapan untuk terus meneguhkan hati dan pikiran agar dapat mendapatkan kebaikan-kebaikan yang terselip.

Akhirnya… Semoga di usia setahun pernikahan kita ini, menjadi semacam deklarasi antara kita agar dapat memacu kehidupan yang lebih bermanfaat. Apalagi kamu sudah hamil 4 bulan. Semoga generasi kita yang masih dikandunganmu kali ini, kelak menjadi generasi yang lebih baik dari kita. Sholeh atau Sholehah. Namanya nanti siapa? Kalau cowok: Ahmad Muhammad Mahmud. Kalau cewek: Siti Mahmudah aja kali ya? Tapi kamu masih saja mendebat. Ya, itu nanti dulu kalau soal pemberian nama. Yang penting dijaga dulu kandungannya…

Kanggo Riko Dik Siti Kholilatu Rosida Binti Suliadi (Husein) Almarhum  
Kakangmu Muhammad Roihan Rikza  
Kepanjen 1 Juni 2016

Belum ada Komentar untuk "Setahun Usia Pernikahan; Surat Untuk Seorang Istri"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel