Masa Lalu yang Lewat dan Tak Akan Terulang

Satu hal yang takkan mungkin kita elak adalah nostalgia. Kata Almarhum Slamet Effendi Yusuf yang meninggal pada 3 Desember 2015, nostalgia adalah jejak. Selama kita telah melewati masa lalu, baik getir duka maupun fatamorgana bahagia, adalah jejak yang pernah kita tinggalkan dan kita tanggalkan. Tidak bisa kemudian jejak yang telah kita lalui itu kita ralat untuk perbaikan—jika ada hal yang kita anggap buruk, dan merenovasi agar lebih baik—jika kebaikan di masa lalu tak sempat kita maksimalkan.




Ya, kita hanya akan berbagi dengan ruang dan waktu. Mengisi dan selalu berkeinginan untuk memperbaiki. Sekalipun hanya terbatas pada harapan, setidaknya ada niat dan ikhtiar yang bertujuan untuk memperbaiki.
Tapi masalahnya sekarang adalah apa-apa yang pernah kita tinggalkan di masa lalu, berkeinginan untuk diulang di masa sekarang adalah kemustahilan. Sekalipun memaksakan kehendak untuk meraih masa lalu dalam bentuk materi pun, tidak akan sama persis dengan hal yang pernah kita alami. Dan hal itulah yang kemudian memunculkan beragam fenomena yang turut melibatkan bidang kesenian dan kesusasteraan.
Bidang kesenian, misalnya, di Kota Malang pernah mewujudkannya dalam rupa Malang Tempo  Doloe (MTD). Bertempat di jalan Ijen yang memakan waktu berhari-hari dan memang menyedot banyak pasang mata serta menikmatinya sebagai pengungkap nostalgia. Sekalipun hanya berlaku tak lebih dari program tahunan yang akhirnya tak berwujud lagi, MTD membekas di hati masyarakat Malang.

Saya tak tahu pastinya, mengapa tiba-tiba  MTD tak hadir kembali. Jika urusan komersialisasi, sudah pasti terjadi konflik internal. Sebab, sudah menjadi alasan umum jika uang yang menjadi tujuan utama dan bubar adalah titik jenuh yang tidak bisa lagi dihindari.

Tak mengherankan jika belakangan ada deklarasi kecil-kecilan Malang Djaman Lawas (MDL) yang digagas sesepuh pini sepuh Kota Malang. Ingin mendesain ulang MTD dengan corak yang lebih ‘kuno’. Tapi sayang, MDL tidak kunjung muncul, terkecuali sebatas gebrakan deklarasi saja. Setidaknya, nilai positif yang bisa diambil adalah sesepuh pini sepuh mencoba untuk mengingatkan bahwa Malang memiliki sejarah yang tidak boleh ditinggalkan bagi warganya.

Dalam bidang kesusasteraan atau literatur tak ingin kalah juga untuk menggali kebudayaan masyarakat setempat yang sudah berada pada titik kepunahan. Karya tulis ini berupa cerita-cerita pendek yang menyinggung dunia permainan tradisional anak-anak. Seperti engklek, bentengan, nekeran (kelereng), blaksodor, patel lele, tekongan dan mungkin juga yang agak bersinggungan dengan babak modernitas adalah monopoli.

Apa sebab hal yang mungkin oleh sebagian kalangan dianggap sepele ‘wong hanya permainan saja’, tapi mengundang banyak orang untuk urun rembug ‘kembali ke masa lalu’? Bisa dipastikan, bahwa arus digitalisasi yang diharapkan membawa pada era yang lebih baik, ternyata hanya sebatas tong kosong yang dipukul-pukul hingga nyaring dan hanya menimbulkan kegaduhan. Tong yang dipukul-pukul itu tak menghasilkan nada indah yang menjadikan hati seseorang merasa ditetesi embun pagi ditengah kegersangan akut.

Jika tidak percaya dengan spekulasi yang saya sampaikan, ambil contoh permainan kuno semi modern. Yaitu monopoli. Beberapa bulan lalu, permainan ini telah hadir melalui digitalisasi yang dikenal dengan Get Rich. Model permainannya sama persis dengan monopoli yang mungkin sempat tenar dan menjadi permainan ‘elite’ satu atau bahkan dua dekade silam.

Antara Get Rich dan Monopoli, sama-sama mengharuskan pemain untuk mengambil satu patung kecil sebagai simbol keikutsertaan. Kemudian digilir untuk melempar dadu. Angka yang keluar dari dadu itu adalah petunjuk untuk melangkahkan perpindahan patung kecil dari satu kotak ke kotak lainnya. Antara satu kotak itu bergambar sebuah kota yang bisa dibeli menggunakan ‘uang-uangan’. Jika satu kota sudah terbeli dan terdapat pemain lain yang secara hitungan dadu menunjuk pada kota yang sudah dimiliki, maka akan dikenai denda. Tapi akan lain cerita jika pemain yang kena denda itu memiliki banyak modal dan membeli kota yang sudah dibeli oleh pemain sebelumnya. Secara tak langsung, pembeli pertama dianggap gugur dalam pemilikan kota, oleh sebab dibeli secara ‘paksa’ oleh pemilik modal yang lebih besar. Seperti itulah seterusnya gambaran permainan ini. Dan akhirnya permainan ini akan dimenangkan oleh ‘konglomerat dadu’ dan berhasil membeli banyak kota.

Bedanya, Get Rich menampakkan wajah individualisme di tempat umum maupun di tengah kesunyian. Bagaimana tidak jika permainan ini nyatanya menjadikan pemain harus betah lama-lama di depan layar handphone yang dimilikinya. Sedangkan monopoli menuntut kebersamaan—minimal dua orang yang secara tidak langsung tidak monoton dengan satu arah pandang. Jelas-jelas perbedaan ini melahirkan wajah baru dunia permainan. Dengan Get Rich, seseorang tak perlu lagi mendatangi lawan dan tak perlu tahu lawan sedang bermain saat makan atau berada di kendaraan umum, sedang monopoli tidak bisa dilakukan di tempat yang riuh bergoyang dan jika ada camilan, akan dimakan bersama-sama. Berbeda, antara mangan nggak mangan seng penting kumpul, dengan kumpul nggak kumpul seng penting mangan.

Pun demikian dengan permainan tradisional lainnya. Sepertinya, tradisional yang orsinil dan disebut-sebut sebagai bagian yang terbelakang, hanyalah pandangan sementara seseorang yang tidak mampu melibatkan diri secara enjoy dan lebih merasa ‘nyaman’ dengan arus digitalisasi yang tidak bisa dielakkan dari sikap ‘manipulasi’.

Sekalipun demikian, modernitas lewat digitalisasi yang merenggut tradisional yang telah berlalu, tidak bisa disalahkan begitu saja. Adalah hal yang bijak jika kita ini pandai-pandai menjaga warisan dan mengolahnya menjadi nilai baru yang relevan dengan kondisi saat ini. Menjaga warisan adalah keharusan, sedang menyesuaikan dengan fakta kekinian adalah tuntutan. Wallahu a’lam.

M. Roihan Rikza, Cepokomulyo, Kepanjen, Malang 6 November 2015

Belum ada Komentar untuk "Masa Lalu yang Lewat dan Tak Akan Terulang"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel