Tikungan Masa depan Kita; Surat (Dari) Untuk Seorang Martir

Teman-teman yang sudah bertengger di posisi pemerintahan. Untuk teman yang masih berkelana ingin mengetahui besarnya Tuhan. Untuk teman yang sedang berjuang bertahan hidup. Sedikit riwayat yang aku tuliskan beberapa waktu lalu tentang kehidupan kita yang takkan pernah terulang secara sengaja.

Teman…
Menjalani kehidupan dunia, kita bagai seorang pelancong yang tak pernah tau keadaan sebuah jalan di depan, yang bakal dilalui. Pada tiap tikungan tajam, hampir selalu membesitkan dalam hati agar tidak berpapasan dengan tronton, truk atau kontener. Juga berharap pada tikungan yang bersampingan dengan jurang, tetap bisa mengendalikan kendaraan agar keseimbangannya terjaga. Pada gilirannya, kita selalu berharap atas keselamatan kita.

Tapi apakah memang demikian hidup kita yang dianggap apa adanya ini, memang nyata ‘apa adanya’? Apalagi yang sudah mapan dengan memasuki kawasan komersial, tentu sudah merasakan tumpang tindih berbagai nilai.

Jika Anda terjanjur mengernyitkan alis karena kurang mengerti makna dari paragraf kedua di atas, akan saya jelaskan. Begini. Singkatnya, bukankah kita sebagai manusia memiliki sifat dasar atas keamanan diri kita? Tentu dan pasti. Kemana pun kita pergi, apapun yang kita lakukan, kita tak ingin diri kita terlukai minimal. Maksimalnya kita tidak ingin dibangkrutkan atau dirugikan oleh pihak lain, entah dalam rupa apapun itu. Itu yang selalu kita inginkan. Tapi tidak demikian adanya kita yang hidup dengan muatan nilai yang tumpang tindih ini.

Seorang teman yang hidupnya serba adanya yang berarti ia ingin menolak segala kemapanan atau yang sering disebut sebagai orang ‘anti kemapanan’, selalu berpenampilan yang jauh berbeda dengan lingkungan sekitarnya. Saat ia kuliah, ia tidak menggunakan celana pensil atau celana kain yang dianggapnya mewakili orang yang berpendidikan. Ia memakai celana kombor, baju ‘berdaki’, kadang juga memakai jaket lusuh, dan sering terlihat tidak mandi sehingga menimbulkan bau apek. Rambutnya gondrong dan seringkali ditegur oleh dosen agar memotongnya. Tapi ia diam tidak menggubris. Egoiskah dia? Belum tentu.

Mungkin, bagi teman saya itu, dengan penampilan yang tidak sama dengan umumnya, ia ingin menunjukkan kebebasannya. Ia seperti ingin mengatakan bahwa ia tidak ingin terjerumus pada romantisme konsumtif dengan berbagai rumus menolak nilai-nilai pragmatisme dan hedonisme. Ia ingin menunjukkan bahwa dunia anak kampus itu adalah baca buku, diskusi, mengikuti seminar, dan aksi (demonstrasi)—jika memang hal ini dianggap paling ideal. Bukan hura-hura, foya-foya, dan pindah-pindah tempat untuk gosib ini itu.
Tapi itu cerita seorang teman yang sudah terkubur karena mempertahankan dan memperjuangkan idealismenya. Ia mati dipentungi polisi saat ikut demonstrasi menurunkan harga sembako. Inilah salah satu aksi nyatanya. Ia tidak memperdulikan nasib sendiri, tapi urusan banyak orang, ia turun tangan. Meneriaki perwakilan rakyat dan menuduhnya sebagai perampok berseragam. Ia dituduh provokator dan ia tidak selamat.

Beberapa tahun kemudian, cerita-ceritanya kembali dipromosikan. Berbarengan dengan tidak stabilnya ekonomi negeri ini. Sebuah buku yang ditulis oleh beberapa teman dekatnya, yang menulis tentangnya, laris dipasaran. Bahkan lokasi buku KW di negeri ini kehabisan stok. Media sosial ramai membicarakannya. Koran dan televisi menambahkan artis dadakan yang merekrut teman-teman sejawat sang demonstran yang meninggal dunia beberapa tahun silam. Termasuk diriku yang sempat mejeng  di layar televisi.

“Ia mahasiswa yang sederhana. Pakaiannya amburadul apa adanya. Rambutnya gondrong. Pokoknya ia tak pernah rapi. Tapi ia pintar…” demikian ulasan wawancara ditelevisi nasional dari salah seorang temannya. Gara-gara kutipan kata-kata itu, sekitar empat bulanan kemudian, mahasiswa banyak yang berubah. Pemandangan anak-anak kuliah, seperti gudang anak punk. Banyak pula toko-toko pakaian sekitar kampus, yang mempromosikan celana sobek, celana tembelan, celana kombor, baju dengan dipenuhi boneka tempel, baju hansip dengan berbagai model pangkat, dan berbagai aksesoris yang kiranya laku dijual.

Ah sial! Temanku jadi tumbal komersialisasi dalam negeri! Padahal ia tidak mengajarkan kebebasannya kepada teman-temannya. Ia hanya berperilaku seenak dia. Tapi mengapa kini sudah menjamur secara serentak tentang bagaimana seorang anak kampus berpenampilan? Apakah temanku itu seorang wali yang mampu memprediksi kehidupan selanjutnya? Apakah ia telah menjalin hubungan baik dengan para pemodal, sebelum ia meninggal? Mengapa ia dijadikan simbol perlawanan? Aku tidak tahu jawabannya. Yang aku tahu ia pintar, sedang mereka yang berpenampilan layaknya temanku itu, hanya berperan sebatas simbol tanpa makna.

Oh ya, temanku yang meninggal itu bernama Jeje. Ia meninggal pada 20 Mei tahun 2007. Jika tak sempat menemukan buku tentangnya, jangan mencari di perpustakaan kampus manapun, sebab bukunya sudah diasingkan. Jika ingin mencopy-buku tentangnya dan beberapa catatan pribadinya sewaktu kuliah, temui aku. Karena aku teman kamar kosnya.

“Sebab pemberontak selalu memulai perlawanan dari ‘bawah tanah’—demikian tulis dia pada tiap kertas putih dibalik sampul buku yang ia milikinya.
Oleh seorang martir di jalan Kemerdekaan Timoer no. 37, Jakarta Pusat. (temui aku jika berkenan)

M. Roihan Rikza, Kepanjen, Kamis 15 Oktober 2015

Belum ada Komentar untuk "Tikungan Masa depan Kita; Surat (Dari) Untuk Seorang Martir"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel