Nostalgia

Ini bukan tentang mengumbar masa lalu yang sengaja diproyeksikan melalui album kenangan
kita di masa lalu, melalui ingatan pada diri kita masing-masing. Bukan pula
untuk suatu hal yang bisa dikatakan ‘bangga-banggaan’ atas kejayaan masa lalu yang
memang takkan pernah terulang, oleh karena waktu dan kondisi, selalu berubah. Tapi,
nostalgia hanya sebuah ‘sempat’ diantara kesempatan agar dapat mengunduh jeda
sebentar, lalu membeberkan segala hal di masa lalu.


Seperti
halnya seorang teman, saat duduk santai di sebuah warung kopi, tiba-tiba ia
mengenang masa lalunya: tentang masa-masa menjadi mahasiswa, aktivis. Kemudian ia
menceritakan suka dukanya saat menjadi mahasiswa di tahun digitalisasi mulai
berperan aktif dan membombardir segala bentuk proses panjang, menjadi jalan
pintas yang instan dan pragmatis.

“Dari
120-an mahasiswa, hanya ada 3 mahasiswa yang menjadi aktivis, termasuk dirinya.
Yang menurutku waktu itu adalah memang benar-benar aktivis” katanya dengan
sorot mata yang penuh kekecewaan, tapi lepas begitu saja dengan senyumnya yang
khas. Lesung pipinya membuat wajah temanku itu terlihat manis, sekalipun aku
memahami betapa hidupnya kini serba melarat.

Katanya
lagi, hanya dengan kesepakatan dengan 2 orang temannya: sendiri baca buku,
berdua diskusi, dan bertiga turun ke jalan untuk demonstrasi, dia memegang
janjinya hanya dalam waktu selama 4 tahun, kemudian wisuda, mendapat gelar
sarjana sastra Indonesia.

Ceritanya
saat awal-awal bergabung dengan organisasi, ia banyak membaca buku tentang
kepemudaan, organisasi, biografi orang-orang besar; catatan harian aktivis
semacam Soe Hok Gie, Aye Saung, Ahmad Wahib; surat-surat yang dibukukan seperti
karya R. A. Kartini, A. M. Fatwa, JJ. Kusni; pemikiran dari kanan sampai kiri
semisal tulisan Harun Yahya, Ahmad Deadat, Muhammad Abduh, Hassan Hanafi, Faragh
Fauda, Ir. Soekarno, Tan Malaka, Milad Hanna; dan tentu saja buku-buku sastra
seperti Najib Kailani, Pramoedya Ananta Toer, Abdul Muiz, Ahmad Tohari, Agus
Noor, serta banyak buku lainnya.

“Saya
merindukan masa-masa itu. Setelah berjam-jam di warung kopi membaca buku, lewat
tengah malam aku berdiskusi dengan kedua temanku. Teman-teman bilang, kami
seperti 3 serangkai yang tidak bermutu. Hahaha” tawanya meledak membuyarkan
lamunanku yang sudah masuk pada dunianya pada masa lalu.

Kemudian
ia diam sejenak. Menyeruput kopinya. “Lalu,” lanjutnya dengan mimik wajah wajah
yang terlihat kaku. Tapi ia diam lagi. Ia menyalakan korek api. Mendekatkan pada
ujung sebatang rokok yang menempel pada ujung bibirnya. Menghisap, mengepulkan
ke udara.

“Pagi
harinya, setelah nongkrong hampir satu jam di tempat orang berjualan koran
untuk membaca berita hari itu juga, kami kembali ke kampus untuk menghasut
teman-teman agar ikut demonstrasi dengan kami. Tapi tidak satupun diantara
mereka yang menanggapi. Akhirnya hanya kami bertiga  yang demontrasi di dalam kampus mengenai SPP
yang bakal dinaikkan lagi”.

“Sekalipun
itu hanya isu, yang penting mahasiswa masih mau merespon. Itulah mahasiswa!”
teriaknya.
Aku masih
asyik dengan cerita-ceritanya itu. Aku diam saja tanpa merespon selayaknya
wartawan yang selalu memenggal kalimat dari narasumber agar mendapatkan banyak
informasi. Ia masih melanjutkan ceritanya.

Kami
bertiga mengelilingi kampus. Aku yang orasi menggunakan mega pon dengan
berkalung tulisan-tulisan protes. Satu temanku berperan aktif sebagai mana
mestinya teatrikal jalanan tanpa busana, tapi tubuhnya berlumuran cat merah
putih. Satu lagi menyisiri mahasiswa yang sedang menonton. Diantara mereka saat
diajak oleh temanku untuk bergabung demontrasi, malah tertawa cekikikan sambil
merekam melalui alat digitalnya. “Hey kau yang perempuan mahasiswi yang berada
di zona nyaman digital, apa yang bisa kamu perbuat dengan hp itu untuk
negerimu!”. Lalu perempuan itu pergi. Malu usai diteriaki. Pun dengan mahasiswa
lainnya. Yang awalnya bergerombol seperti diskusi tugas-tugas kuliah hasil copy
paste, setelah diteriaki, mereka menyingkir.

Tidak
hanya itu. Beberapa dosen dan karyawan kampus ada yang keluar dari ruang
kerjanya untuk turut merekam aksi kami. Sontak saja temanku yang menyisir tadi,
langsung menarik salah seorang karyawan untuk ikut demo. Tapi malah tertawa. Temanku
lalu berdiri tegak di hadapan karyawan yang di samping kanan kirinya terdapat
beberapa dosen. Ia kemudian meneriakkan dengan lantang sumpah mahasiswa. “Hidup
mahasiswa!!! Ayo ikuti kami wahai para dosen dan karyawan….!”. “Hidup…” kata
karyawan itu.

“Begitu
kira-kira masaku” katanya yang sepertinya sudah mulai lesu dengan kenangannya.

“Tidakkah
kamu ingin menuliskannya? Entah itu cerpen, novel, ataupun catatan harian? Tanyaku.

“Sudah.
Tapi aku tidak ada dana untuk menerbitkannya. Kamu yang sudah hidup penerbitan
tentu sudah paham kalau saat ini penerbitan juga tak lebih dari pasar pengetahuan.
Asal menguntungkan, apa yang tidak! Hahaha”

Aku diam.
Lalu temanku itu pergi. Tinggal aku sendiri di sebuah meja paling pojok. Di sebuah
warung kopi yang tak pernah letih didatang-tinggal pergi oleh ‘fans’nya. Pada bangku-bangku
yang lain terlihat penuh dengan aktivitas sebagaimana umumnya di warung kopi di
kota dingin Malang ini. Kalau tidak rapat organisasi, tentu akan bermain kartu.
Ada pula yang bermain catur. Beberapa orang memang terlihat seperti diskusi
ringan. Tapi sangat jarang, bahkan sangat minim aku temukan diantara mereka
yang asyik membaca buku. Sedang aku, di masa aku kuliah adalah dunia buku dan
diskusi.

Kembali
aku mengenang masa laluku saat menjadi mahasiswa. Aku memasuki dunia al-ana
(ke-akuan-ku) tentang masa laluku sebagaimana Hassan Hanafi menuliskan al-ana
(Islam) di masa lalu yang sudah mapan. Lalu, aku melusuri langkah masa sekarang
yang realitasnya berbeda dengan masa lalu. Terdapat dua benturan dan jurang
yang menganga, sedang masa depan tak kunjung menemui kejelasannya. Hal yang
sangat lumrah untuk diwacanakan. Antara tradisional yang dihadapkan dengan modernisme,
jika menemukan benang merahnya, lahirlah neomodernisme dalam kehidupan. Itu idealnya.

Dalam
bernostalgia seperti ini, aku turut mencatut ungkapan muhafadzoh ‘alal
qodimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah sebagaimana perumpamaan antara
tradisi, modern dan neomodern itu sendiri. Bahwa diri sendiri, pun dengan
masing-masing pribadi manusia lainnya, tentu memiliki alur kehidupan yang beragam:
perbedaan antara masa lalu, masa sekarang, dan yang akan datang. Sedangkan
nostalgia bukanlah kegiatan wajib dalam kehidupan yang dengannya pula harus
terjadwal. Tidaklah demikian senyatanya. Nostalgia hanyalah bagian yang
terpinggirkan dan sering kali hadir tanpa janji yang ditentukan. Dengan kata
lain, “nostalgia adalah celah untuk istirahat bagi kehidupan yang dilecut
keyakinan bahwa ‘masa silam sedang menghilang’, tulis Goenawan Mohamad dalam
Catatan Pinggirnya. Adakah Anda ingin bernostalgia? Silahkan…
<o:p> </o:p>
M.
Roihan Rikza, 23 November 2015

Belum ada Komentar untuk "Nostalgia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel