Andai Aku SBY

Ada yang menarik untuk menjadi perhatian publik hari ini. Mungkin juga beberapa hari terakhir. Namun, yang baru kuketahui keunikannya adalah kemarin sore saat aku menonton acara televisi di TV ONE. Sekitar pukul 17.10, TV ONE menayangkan klip-klip Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat marah, jengkel dan kecewa bahkan menantang, dalam beberapa pertemuan pejabat yang ditayangkan secara vulgar.


Entah apa tujuannya. Yang jelas, TV ONE itu punya Abu Rizal Bakrie. Entah disengaja untuk mencoreng nama baik SBY atau hanya iseng-isengan bahan tontonan, aku tak paham. Paling tidak, aku mengerti bagaimana kondisi Presidenku. Bahwa Presiden juga manusia.

“Berdosa, salah, malu kepada rakyat”, kata SBY menegur pejabat yang tidur di ruang diskusi. Tidak hanya itu saja. SBY mungkin sudah muak dengan kondisi Bangsanya yang seolah tak ada perubahan. Lebih-lebih melihat pejabat pemerintah yang sepertinya tak memiliki keseriusan dalam mengentaskan Bangsa dari kemisikinan yang kian membengkak, korupsi yang semakin mengakar, pendidikan yang carut marut, ekonomi yang tidak stabil, dan banyak hal lain yang menjadi ‘garapan’ pemerintah, namun belum ada kepastian kapan semua problematika bangsa ini akan tuntas.

Setelah kupikir-pikir, menjadi Presiden Indonesia itu amat susah dan sulit untuk mengatur Bangsanya. Lebih sulit lagi jika bawahan dalam pemerintahannya sama sekali tidak memperhatikan nasib dan memperjuangkan masa depan arah Bangsa Indonesia. Apa karna semua ini adalah watak dan wajah pemerintahan Indonesia yang bisa dimaklumi? Tentu tidak. Pemerintah selaku perwakilan dari rakyat seharusnya memberikan jalan mulus untuk kesejahteraan rakyatnya. Namun, sampai saat ini, pemerintah masih memikirkan nasib dirinya sendiri, untuk perutnya sendiri dan lebih mengutamakan kesejahteraan keluarganya masing-masing dari pada membahagiakan orang-orang miskin yang makan tidur di bawah kolong jembatan. Ini adalah kenyataan.

Kejengkelan SBY kali ini tidak hanya karna ulah pejabat-pejabat bawahannya, tapi juga ulah seseorang yang meneror SBY lewat sms ‘fitnah’ dari Singapura. Sms tersebut, sebagaimana yang diberitakan KOMPAS yang kubaca hari ini (Selasa, 31 Mei 2011) dituduhkan kiriman dari Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Demokrat yang saat ini berada di Singapura. Namun, Nazaruddin membantah banhwa ia tidak mengirimkan sms yang mencantumkan ancaman akan dibukanya berbagai kasus terkait politisi Partai Demokrat, termasuk kasus Bank Century. (KOMPAS, Selasa 31 Mei 2011)

Ugh… Presiden Presiden. Betapa beratnya menjadi pemimpin negeri ini. Andai aku SBY, mungkin aku sudah gila karna memikirkan ini itu yang tak kunjung reda. Mati satu tumbuh seribu, seperti itulah gambaran fenomena negeri ini. Tidak hanya berkutat pada gejala alam yang berulang kali menimpa bumi pertiwi ini, tapi pergantian kasus-kasus bobrok yang dilakukan pejabat –mulai dari korupsi, pertengkaran dalam ruang pertemuan antar pejabat, baik kelas teri sampai kelas hiu, sampai pada kasus tidurnya pejabat saat bekerja untuk rakyat—mewarnai negeri yang dulunya pernha memiliki julukan zamrud khatulistiwa ini.

Tapi memang itulah resiko dan tantangan Presiden yang tak bisa dihindari, ditolak dan ditawar semena-mena oleh seseorang yang sudah dipercayai dan diamanati rakyatnya untuk memimpin bangsa ini. Sebenarnya, fitnah, ancaman, teror, sakit hati, lelah, lesu, capai, jengkel, kecewa, bahagia, sampai curhat Presiden dihadapan rakyatnya, itu juga pernah dialami lima Presiden sebelum SBY. Bisa juga semua itu dialami oleh Presiden-presiden di luar Nusantara. Hanya saja, cara mengatasinya yang berbeda-beda.

Untuk itulah patut kiranya jika penulis menampilkan pernyataan dari Bung Karno yang tertulis dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi bahwa dalam menanggapi masalah itu, “Kita harus bicara dan bekerja”. Wallahul Musta’an. [roy]

Selesai diketik pada hari Selasa malam Rabu 31 Mei 2011. Pukul 21.53 WIB—sambil menonton Pesantern Rock ‘N Roll.

Belum ada Komentar untuk "Andai Aku SBY"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel