Tuhan, Aku Ingin Bercerita 5#

Benar-benar hari apes. Kemarin, saat berangkat kuliah dari rumah, aku dihadang polisi di perempatan utara rumahku. STNK-ku disita hingga waktu persidangan yang rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 15 April nanti. Jengkel dan sebel. Itu yang dapat kurasakan usai menemui polisi yang bodinya lebih kekar dari pada diriku yang kerempeng ini. Padahal, yang dipermasalahkan oleh polisi itu hanyalah kasus lampu motorku yang tak kunyalakan dan spion motor yang kata polisinya tidak standar. “Ah… nyari duit saja polisi ini”, gumamku.



Aku teringat dengan masa laluku. Yaitu saat masih duduk di bangku Tsanawiyah atau yang setara dengan SMP. Aku dan teman-temanku sering ngobrol dan ngerumpi tentang polisi yang waktu itu ada julukan sebagai ‘preman berseragam’. Saat itu, mungkin dapat dikatakan sebagai puncak bermunculan motor-motor modifikasi. Tak mengherankan jika teman-temanku banyak yang hobi ngumpulin foto-foto motor modifan, meskipun tak memiliki motor.

Saat itu, stadion Kanjuruhan yang terletak di kecamatan Kepanjen menjadi lokasi yang pas dan cocok untuk balap sepeda motor. Sering ada obrolan bahwa tiap malam minggu, stadion itu menjadi kerumunan pemuda-pemudi untuk menonton balap liar. Apalagi di bulan puasa, tiap pagi usai sahur,  di stadion Kanjuruhan, kandang kesebelasan AREMA, menjadi lautan manusia muda-mudi dengan berbagai macam atribut. Motor-motor modifan menjadi pemandangan yang indah kala itu.

Tapi sayang, lagi-lagi pemandangan indah itu harus bubar tak karuan saat polisi dengan lampu sirine-nya menyuarakan agar meninggalkan stadion. Tiba-tiba saja amukan knalpot dari motor-motor di stadion itu mengalahkan suara sirine polisi tersebut. Satu persatu motor modifan membubarkan diri dan meninggalkan stadion.

Polisi, ya hanya karna polisi. Padahal polisi juga manusia. Hanya pakaian dan pangkatnya saja yang berbeda. Otak dan nafsunya sama seperti pedagang kaki lima di pinggir-pinggir jalan. Polisi punya kekuasaan dengan gelarnya dan pedagang kaki lima punya keleluasaan dengan semangatnya untuk bisa bertahan hidup.
Ah… polisi. Semakin geram saja pikiran ini mengingatnya. Benar-benar sial hariku kemarin. Aku harus menunggu saat sidang tiba pada tanggal 15 nanti. Pikiran ini tak henti-henti mengusik kata-kata polisi. Sepertinya, ingin kutonjok saja muka polisi itu. Tapi, tetap saja aku akan dicap bersalah dengan berbagai dalil dan undang-undang yang dimilikinya. Meskipun pada kenyataannya aku tak paham dan tidak tahu sama sekali dengan aturan yang ditetapkan oleh polisi negara ini.

 Tuhan… apakah polisi itu malaikat yang Kau utus untuk menegakkan keadilan di pinggiran jalan yang biasanya berkeliaran di penghujung akhir bulan? Atau memang malaikat yang tiap pagi mengatur lalu lintas dengan rompi hijaunya? Tapi, jika polisi itu adalah malaikat, mengapa masih mau disuap? Dengan alasan uang damai, polisi sewenang-wenang meminta uang pada sasaran korbannya. Oh… bukan. Ternyata polisi bukan malaikat. Polisi sama seperti aku dan manusia lainnya yang doyan dengan duit. Untuk itulah, aku lebih memilih di sidang di pengadilan dari pada harus menyuap polisi itu.[roy]

Al-Faroby, 5 April 2011. Pukul 08.21 WIB.

Belum ada Komentar untuk "Tuhan, Aku Ingin Bercerita 5#"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel