Tuhan, Aku Ingin Bercerita 10#

Sudah empat hari ini aku tak menuliskan sesuatu di atas lembaran digital. Bukannya tak ada waktu untuk mengetik, tapi tiga hari ini laptopku sedang bermasalah. Baru tadi malam temanku menginstal ulang laptopku yang akan menginjak umurnya yang ke-II. Aku membeli laptopku dua tahun yang lalu.



Baru saat kuliah inilah aku mengoprasikannya dengan optimal. Berulang kali ganti anti virus lokal maupun yang non lokal hanya untuk mencegah dari penyakit yang dapat menyebabkan erornya laptop. Itulah laptopku yang sering dimasuki flasdisk-flasdisk pemelihara virus.

Kendala lain yang menyebabkanku kehilangan tema-tema tulisan adalah banyaknya problematika yang kian menumpuk. Bertambah hari maka akan bertambah pula beban yang harus kupikul. Tapi aku selalu berusaha untuk menjadikan problematika yang itu sebagai tantangan. “Jangan jadikan problematika sebagai beban, tapi jadikanlah sebagai tantangan”, salah seorang seniorku saat di pesantren pernah mengungkapkannya padaku.

Cukup rumit dan sulit untuk ber-­istiqomah menulis. Apalagi bagi pemula. Akan ditemui banyak kendala dalam menulis. Entah itu kurangnya kosakata, kabur dari tema, bahasanya rancu dan lain sebaginya. Tapi kalau memang diniati untuk belajar, seburuk apapun tulisannya, sesalah apapun tatanan bahasanya, dan sejelek apapun isinya, maka tetap akan dibanggakan oleh diri pribadi penulis. Karna, dengan demikian, seorang penulis telah berani untuk bikin revolusi dan menunjukkan jati dirinya yang ingin berjuang untuk menulis.

Tahun 2008, aku sering mendapat pertanyaan-pertanyaan yang sama dari teman-teman di pesantrenku tentang ‘bagaimana caranya menulis’. Mungkin, saat itu, aku memang dianggap memotivasi teman-teman karna beberapa tulisanku sempat ‘nampang’ di beberapa mading pesantren. Jawabanku kepada teman-teman hanyalah dengan membiasakan menulis. Menulis apapun yang ingin ditulis. Entah itu menulis tentang gundahan hati atau menulis kejengkelan pribadi penulis atas kejadian yang dialalminya ataupun sekedar surat cinta. Intinya adalah menulis.

Akupun demikian. Dengan kebiasaanku menulis di buku catatan harian sejak tahun 2006, sampai saat ini aku terus ingin mengembangkan wacana-wacana yang menarik. Barang kali saja, dengan usaha dan upaya yang kukerahkan –meskipun terkadang terseok-seok—aku biasa menjadi menciptakan buku dari jerih payahku sendiri. Semoga saja.

Tuhan, ditengah carut marutnya pikiran ini, aku memohon kepadamu agar membukakan pintu hidayah dan istiqomah dalam memperjuangkan agama-Mu. Aku yakin bahwa da’wah bil qalam lebih langgeng dari pada da’wah bil lisan. Untuk itulah, berikanlah kepada hambamu ini kekuatan agar bisa berjuang di jalan-MU. Amin. [roy]

Kepanjen, ruang tengah rumah. Jum’at 15 April 2011, pukul 08.15 WIB.

Belum ada Komentar untuk "Tuhan, Aku Ingin Bercerita 10#"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel